inspirasi
Asal Usul Kata Jancok dan Cok, Awalnya Bukan Umpatan
Kata jancok di Surabaya sepertinya sudah jadi semacam ciri khas atau trademark tersendiri. Lebih dari sekadar umpatan, tapi juga sering dipakai menjadi kata-kata yang ekspresif.
Bukan hanya di Surabaya, kata jancok dan cok juga dikenal di beberapa daerah di Jawa Timur. Bagi yang belum terbiasa mendengarnya mungkin akan terkesan kasar dan tidak sopan.
Meskipun kenyataannya, dalam pergaulan sehari-hari bagi arek Suroboyo dan sekitarnya, hal tersebut sudah biasa.
Baca juga: Bakong Gayo Khas Aceh, Tembakau Hijau yang Beraroma Ganja
Terinspirasi dari seorang pelukis asal Belanda yang bernama Jan Cox
Jika dirunut sejarahnya, kata Jancok sudah dikenal semenjak tahun 1945. Jancok berasal dari nama seorang pelukis dari Belanda yang bernama Jan Cox. Ia lahir di kota Den Haag pada tanggal 27 Agustus 1919.
Di Belanda dan Belgia, ia termasuk pelukis yang terkenal karena karyanya memang fenomenal. Namanya juga tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia di tahun 1945, walau ia tidak sempat menginjakkan kaki di Indonesia.
Begitu juga lukisannya yang ternyata tidak sampai ke Indonesia. Lalu seperti apa ceritanya sehingga namanya bisa begitu populer di Indonesia? Bahkan sejak puluhan tahun lalu sampai saat ini.
Tapi, namanya ‘dibawa’ ke Indonesia dan menjadi terkenal karena sebuah pertempuran di Surabaya.
Pernah dipakai sebagai kode ketika musuh datang saat pertempuran tahun 1945
Ternyata biang keladinya adalah organisasi NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) yang memboncengi Inggris saat mendarat di Surabaya.
Tujuan NICA adalah melucuti persenjataan milik tentara Jepang, dan di salah satu tank tertulis Jan Cox. Dari pendaratan NICA dan Inggris di Surabaya kemudian pecahlah pertempuran besar 10 November 1945.
TKR (Tentara Keamanan Rakyat) membaca tulisan Jan Cox di badan Tank Stuart, dan inilah momen ketika kata Jancok mulai dikenal.
Para prajurit TKR mendapat gagasan untuk memakai Jan Cox sebagai tanda atau kode kalau ada tank musuh datang. Karena diucapkan oleh orang-orang Jawa, maka Jan Cox menjadi Jancok.
Baca juga: Gerakan Rastafari dari Jamaika, Pakai Ganja untuk Praktik Spiritual
Juga dipakai untuk menyapa teman sebaya dan akrab dalam suasana santai
Kata Jancok dan Cok di zaman sekarang meluas maknanya. Bukan lagi dipakai di medan perang, tapi juga menjadi sebuah sapaan akrab kepada teman-teman sepergaulan, misalnya ketika bertemu teman lama.
“Cok, sek urip ta koen? Suwe gak ketemu.”
Misalnya kalimat di atas didengar oleh yang bukan penutur bahasa Jawa Suroboyoan, mungkin akan terkesan sangat kasar. Sapaan di atas berarti ‘Cok, masih hidup ya kamu? Lama tidak bertemu’.
Cok adalah kata sapaan yang merupakan singkatan dari Jancok. Sering juga dipakai dalam bahasa teks ketika chatting.
Cara penulisannya bisa cok, cuk, atau coeg. Semuanya dipakai sebagai ungkapan yang menandakan keakaraban dengan teman sebaya yang sudah sangat dekat dalam situasi santai.
Tentu saja sangat tidak dianjurkan untuk diucapkan di depan orang yang lebih tua, dalam suasana serius, atau ke orang yang belum terlalu dekat.
Berbeda cara penyampaiannya, maka berbeda pula maknanya
Setelah ditemukan akar sejarahnya dari peristiwa perang di Surabaya, ada juga catatan tentang asal kata Jancok yang punya latar belakang cerita yang berbeda.
Menurut kamus dan penelitian Jaseters, jancok adalah sebuah ekspresi kecewa, marah, dan heran yang berlebihan. Maknanya juga bisa dianggap sejajar dengan kata umpatan sialan, brengsek, dan lain-lain.
Bukan hanya umpatan, cok juga dianggap sebagai bentuk lain dari Cak yang artinya panggilan untuk kakak laki-laki.
Ada lagi versi lain bahwa konon pada era kolonial Belanda, remaja di Indonesia menggunakannya untuk menghina orang Belanda. Dalam bahasa Belanda juga dikenal ungkapan ‘yantye ook’ yang artinya ‘kamu juga’.
Apapun itu, cara pengucapan yang berbeda akan memberi kesan berbeda pula. Meskipun bisa menjadi sebuah tanda keakraban, tapi sebisa mungkin untuk hati-hati agar tidak membuat teman jadi salah paham.
0 comments