inspirasi
Asal Usul Guling, Teman Tidur yang Dulunya menjadi Favorit Tentara Belanda
Sebagian orang tak bisa tidur tanpa memeluk guling. Tanpa ada guling, sepertinya tidur terasa kurang nyaman. Bahkan ketika menginap di hotel pun masih mencari guling.
Apalagi kalau sedang berada di luar negeri, yang ada justru orang-orang di luar sana bingung.
Bagi yang baru pertama melihatnya di Indonesia, orang asing menyebutnya seperti mayat. Tapi yang sudah merasakan tidur dengan guling, ada yang kemudian mendapat kesan istimewa.
Konon teman tidur ini hanya ada di Indonesia dan memiliki sejarah yang unik sejak zaman penjajahan Belanda.
Baca juga: Nan Madol, Kota Hantu yang Berada di atas Terumbu Karang Jadi Warisan Dunia
Dikenal dengan nama Istri Belanda (Dutch Wife) untuk menemani para tentara
Pada zaman dahulu, tidak semua orang mampu memilikinya. Pada umumnya hanyalah kalangan menengah atas atau para priyayi kaya raya yang punya di rumahnya.
Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Jejak Langkah pernah menyebutkan fenomena ini dalam lelucon yang dilontarkan tokoh Minke.
Dahulu orang Belanda yang datang ke Indonesia pada umumnya tidak membawa pasangan. Khususnya para tentara yang punya tugas berat di medan perang.
Untuk mencari hiburan, tentara banyak yang menyewa gundik untuk menemani tidur.
Tapi mengingat harga sewa gundik sangat mahal, akhirnya diciptakanlah teman tidur yang baru bernama guling atau dikenal dengan Istri Belanda (Dutch Wife).
Keberadaan guling sempat menjadi gaya hidup masyarakat kelas atas
Pemakaian guling di rumah merupakan akulturasi budaya Belanda dan Indonesia. Pada abad 18-19 Masehi, guling menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat kelas atas.
Bisa dibilang kalau keberadaan benda ini di rumah menunjukkan tingkatan sosial di masyarakat. Sebagai perabotan rumah, harganya setara dengan meja, kursi, dan tempat tidur.
Benda ini tidak ada dalam daftar perabotan rumah orang Eropa, tapi hanya orang Belanda yang pernah datang ke Indonesia atau Hindia Belanda.
Warga pribumi awalnya juga hanya mengikuti kebiasaan orang Belanda, meskipun sebenarnya di rumah sudah tinggal bersama keluarga.
Sampai hari ini, meski keberadaannya sudah menjadi semacam budaya yang mengakar di masyarakat Indonesia, tapi ternyata di sebagian besar hotel di Indonesia tidak menyediakan guling di kamar.
Hanya sebagian saja yang menyediakan atau baru memberikan jika tamu memintanya.
Kebiasaan tidur dengan guling mempengaruhi negara lain dalam beragam versi
Pengaruh Belanda yang menciptakan guling ternyata menyebar ke beberapa negara Asia lainnya seperti Vietnam, China, dan Korea.
Ada banyak variasi nama, misalnya bamboo wife, chikufujin, jukbuin, dan zhufuren dengan bahan bambu yang dianyam.
Meski jukbuin sebagai perabot rumah sudah ada jauh sebelum guling diciptakan, tapi beberapa variannya dipengaruhi oleh Dutch Wife.
Bahkan sampai tahun 1927, istilah Dutch Wife di dalam Oxford Dictionary dideskripsikan sebagai kerangka dari rotan yang berlubang dan dipakai di masa Hindia Belanda sebagai sandaran badan di atas tempat tidur.
Baca juga: Sungai Huang He, Ibu Peradaban China yang Merenggut Jutaan Jiwa
Orang-orang dari negara barat merasa lebih sejuk saat tidur dengan guling
Sejarawan Amerika, John S.C Abbott sempat menyampaikan kesannya saat bertemu guling pertama kali. Ia menuliskan pengalamannya di dalam majalah Harper’s New Monthly Magazine (1857).
Dutch wife yang bulat, panjang, dan keras membuat takjub orang-orang asing yang melihatnya pertama kali.
Posisinya di tempat tidur terbaring dengan rapi dan membujur kaku berwarna putih terlihat mirip mayat yang kecil.
Meski asing pada awalnya, orang-orang dari negara barat merasa nyaman tidur dengan guling di Indonesia yang merupakan negara tropis.
Kebanyakan orang dari luar negeri di Indonesia memakai guling tidak dengan cara dipeluk.
Saat ditaruh di bawah lengan atau kaki, dapat membantu kelancaran sirkulasi udara jadi terasa lebih sejuk meski sedang berada di negara tropis.
0 comments