inspirasi
Kisah Tragis Iqbal Masih, Mati Tertembak Karena Melawan Perbudakan Anak
Iqbal Masih adalah salah satu sosok yang fenomenal di Pakistan. Sejak usianya masih sangat belia, ia terpaksa bekerja untuk keluarganya.
Tidak mudah dibayangkan karena saat ia mulai jadi pekerja, usianya baru empat tahun. Keluarganya sengaja menjualnya kepada pengusaha karpet untuk melunasi utang.
Ternyata ia tidak sendiri, karena ada banyak anak-anak lain di Pakistan yang mengalami nasib tragis seperti dirinya.
Setelah bebas dari status perbudakan anak, ia pun menyuarakan keadilan agar anak-anak Pakistan tidak kehilangan masa kecilnya karena dipaksa bekerja.
Baca juga: Perjanjian Saragosa, Ketika Maluku Diperebutkan oleh Portugis dan Spanyol
Sejak kecil terpaksa bekerja kepada pengusaha karpet untuk melunasi utang keluarga
Iqbal Masih berasal dari Desa Muridke, yakni sebuah perkampungan kecil di pinggiran Lahore, Pakistan. Ia ditinggal ayahnya, tidak lama sesudah kelahirannya tahun 1983.
Ibunya bekerja menjadi cleaning service dengan penghasilan yang kecil. Sejak kecil, ia biasa tinggal bersama kakak-kakaknya ketika ditinggal ibunya bekerja. Ia mendapat pengasuhan dari kakak perempuannya.
Waktunya banyak dihabiskan untuk bermain di sekitar ladang. Sampai pada suatu hari, hidupnya mengalami perubahan drastis. Salah satu kakaknya akan merayakan pernikahan.
Keluarganya berniat meminjam sejumlah uang di suatu perusahaan lokal yang memproduksi karpet tenun. Pemilik perusahannya mengajukan syarat pinjaman (peshgi) yang sayangnya tidak adil.
Uang 600 rupee akan dipinjamkan dengan jaminan yang besar. Untuk memenuhi syarat, ia yang masih 4 tahun harus bekerja untuk pengusaha karpet sampai utang keluarganya lunas.
Beberapa tahun berlangsung, keluarganya masih menambah lebih banyak pinjaman
Keluarganya tidak memahami bahwa yang sedang dilakukannya adalah perbudakan pada anak-anak. Belum ada yang berani menyuarakan tentang kasus perbudakan saat itu.
Sebenarnya ia masih terlalu kecil untuk mengerti persoalan ekonomi keluarganya. Selama bekerja, banyak perlakuan tidak adil yang ia dapatkan. Pengusaha yang memberi utang seolah memiliki kekuatan besar yang sulit dilawan.
Ia dan anak-anak lain yang bekerja tidak digaji selama setahun. Biaya makan dan alat-alat yang dipakai semua ditambah ke utang. Saat ia melakukan kesalahan, seringkali ia didenda yang juga jadi tambahan beban pinjaman.
Beberapa tahun kemudian, keluarganya masih menambah lebih banyak pinjaman. Sampai ketika usianya sepuluh tahun, jumlah utang keluarga sudah bertambah jadi 13.000 rupee.
Setelah bekerja enam tahun, ia berusaha memperjuangkan nasib yang lebih baik
Dalam seminggu, ia bekerja selama enam hari sepanjang 14 jam setiap harinya. Ruang kerjanya juga pengap dan panas karena jendelanya tidak dibuka demi menjaga kualitas wol.
Ia mengalami gangguan kesehatan selama bekerja. Tubuhnya tidak tumbuh sempurna.
Setelah menjalani masa kerja selama enam tahun, ia mendapat kabar tentang adanya BLLF (Bonded Labor Liberation Front) atau Front Pembebasan Buruh Budak di Pakistan yang bisa membantu pekerja anak-anak seperti dirinya.
Setelah jam kerja, ia pun pergi diam-diam untuk hadir di pertemuan. Di sana ia menemukan fakta bahwa ternyata pemerintah negaranya sudah membuat larangan sistem pinjaman peshgi.
Ia pun mengadukan kondisinya pada Eshan Ullah Khan, ketua BLLF yang kemudian membantu mengurus dokumen pendukung agar ia bisa bebas.
Tidak hanya berhenti ketika dirinya bebas, ia juga berjuang membantu teman-temannya sesama anak-anak yang dipaksa jadi pekerja.
Baca juga: Asal Usul Congklak, Permainan Tradisional Tertua di Indonesia
Banyak pihak yang mengancam, tapi ia tetap berusaha menyuarakan kebenaran
Setelah berhasil bebas, ia disekolahkan oleh pihak BLLF di Lahore. Ia belajar keras dan menunjukkan kemampuannya dalam memimpin. Ia terlibat demonstrasi untuk melawan eksploitasi pekerja anak-anak.
Untuk menemukan fakta tentang kondisi pekerja anak, ia sempat kembali ke pabrik untuk pura-pura jadi pekerja. Dengan demikian ia tahu dengan jelas kondisi terbaru di lapangan.
Meskipun langkahnya berbahaya, tapi ia mendapat informasi penting untuk dilaporkan. Karena aksinya, beberapa pengusaha diadili karena memperbudak anak-anak dan sebagian sampai menutup pabriknya.
Meski banyak pihak yang mengancam, ia terus berbicara dengan berani dan lantang. Seolah tidak rasa terintimidasi, ia tetap berusaha menyuarakan kebenaran.
Ia memang kehilangan masa kecil, tapi di usia menjelang remaja ternyata ada keberuntungan menghampirinya.
Meskipun meninggal di usia muda, perjuangannya menginspirasi seluruh dunia
Banyak wartawan dan aktivis internasional yang mendengar kisahnya. Ia pun banyak diwawancarai seputar pengalamannya.
Perjuangannya pun diakui dunia, sampai ia mendapat penghargaan di Amerika dalam bidang Hak Asasi Manusia.
Ia sempat menjalani masa-masa menyenangkan tinggal di Amerika. Suatu hari tanggal 16 April 1995, ia berkesempatan pulang menemui keluarga dalam momen Paskah.
Bersama sepupunya, ia bersepeda di lapangan sekaligus membawakan makanan untuk pamannya.
Di perjalanan, ia dan sepupu terserempet oleh seseorang yang membawa senapan. Ia meninggal dunia karena terkena luka tembak.
Sedangkan sepupunya berusaha melawan, namun tetap terkena juga di bagian lengan. Kematiannya menjadi misteri dalam waktu lama.
Besar dugaan bahwa ia sengaja ditembak oleh pihak yang tidak senang dengan aksinya memperjuangkan pekerja anak.
Meski sudah meninggal di usia muda, perjuangannya menginspirasi dan masih dilanjutkan oleh para aktivis sosial di dunia.
0 comments