kuliner
Kue Batang Buruk, Berawal dari Patah Hati Sang Putri Raja
Ada beragam makanan khas dari Riau, mulai dari makanan berat sampai makanan ringan yang bisa menggugah selera. Salah satu makanan khasnya adalah kue batang buruk.
Dilihat dari ukurannya, kue batang buruk terlihat kecil-kecil karena hanya 3-4 cm per biji. Memang namanya sedikit aneh dan bisa mengundang tanya. Tapi ketika dicicipi, banyak orang yang langsung suka dengan cita rasanya.
Masyarakat Riau dan sekitarnya sering menyediakan makanan yang termasuk kue kering ini pada saat Hari Raya Idul fitri.
Di balik rasanya yang manis, kue legendaris ini ternyata punya sejarah yang agak kelam tentang seorang putri raja yang patah hati.
Baca juga: 5 Makanan Khas Jogja, Punya Sejarah Unik dan Sudah Mendunia
Resepnya diwariskan turun temurun dan biasa disajikan saat hari raya
Kue batang buruk konon telah dibuat di Riau sejak 400 tahunan yang lalu. Resep untuk membuatnya diwariskan secara turun temurun dan tetap dilestarikan sampai saat ini.
Pada umumnya, kue kering dengan bahan utama tepung terigu ini dibuat oleh masyarakat Riau dan sekitarnya dalam rangka merayakan Hari Raya Idulfitri.
Bisa juga menjadi oleh-oleh saat mengunjungi rumah kerabat. Tentang asal usul nama kue batang buruk, mungkin banyak yang penasaran. Mengapa dinamakan seperti itu?
Bahan utama pembuat kuenya adalah tepung terigu yang dicampur tepung beras dan kelapa, kemudian diuleni menjadi berbentuk silinder panjang seperti batang.
Dibentuk berongga, diisi kacang hijau, lalu digoreng. Selain kacang hijau, ada juga campuran susu dan gula halus di bagian luarnya.
Pertama kali dibuat oleh Wan Sinari, putri kerajaan yang sedang patah hati
Konon sebutan batang buruk berawal dari kisah percintaan Wan Sinari, seorang putri sulung dari Baginda Raja Tua di Kerajaan Bintan.
Dikisahkan bahwa putri Wan Sinari memendam rasa cinta pada sosok pemuda tampan dan pemberani yang bernama Raja Andak atau Panglima Muda Bintan.
Tapi ternyata cintanya harus bertepuk sebelah tangan karena pemuda idamannya lebih memilih Wan Inta, yang tidak lain adalah adik kandungnya sendiri.
Untuk menghilangkan perasaan sedih di hati, Wan Sinari mencoba ke dapur dan menyibukkan diri bersama para dayang istana.
Wan Sinari di dalam kesedihannya berhasil menciptakan sebuah kue unik yang jika digigit maka kuenya akan hancur sampai sepihannya berjatuhan.
Wan Sinari pun memohon pada sang ayah agar makanan buatannya bisa dipersembahkan ke para tamu dan petinggi kerajaan. Permintaannya pun dikabulkan.
Baca juga: Sejarah Nasi Liwet Solo, Hidangan Istana dan Penolak Bala
Ada filosofi dalam setiap gigitannya, yaitu tentang sikap saat makan
Pada suatu hari, ada tamu dan petinggi kerajaan yang berkumpul di istana. Kue yang dibuat Wan Sinari  dihidangkan. Di antara tamu yang hadir, ternyata Panglima Muda Bintan juga terlihat hadir.
Tamu yang baru mencicipi kue pertama kali merasa malu ketika serpihan kue jatuh dan mengenai pakaian kebesaran yang dipakai.
Hanya Panglima Muda Bintan saja yang bisa memakannya dengan baik, karena serpihan kuenya tidak berjatuhan seperti yang lain.
Ada filosofi dalam setiap gigitan kue batang buruk, yaitu ‘biar pecah di mulut, jangan pecah di tangan’.
Artinya adalah tentang bagaimana seorang bangsawan seharusnya punya etika saat makan. Mulai dari makan besar sampai makan kue kering atau camilan saat bertamu.
Sudah ada beberapa modifikasi, dan perlu ketekunan untuk membuatnya
Jika seorang bangsawan bersikap buru-buru dan ceroboh saat makan, maka hal itu bisa mencermikan buruknya perilakunya sehari-hari.
Itulah pesan bijak yang diceritakan pada sebuah camilan kue khas melayu bernama kue batang buruk.
Namanya mungkin ‘buruk’, tapi soal cita rasanya akan membuat ketagihan. Dahulu memang kue batang buruk hanya familiar di kalangan bangsawan istana.
Tapi sekarang sudah bisa dibuat di rumah, hanya saja cara membuatnya membutuhkan keterampilan dan ketekunan.
Di bebarapa tempat, memang masyarakat rumpun Melayu masih mempertahankan tradisi resep kue batang buruk yang asli, khususnya di saat lebaran.
Seiring perkembangan zaman, kue ini banyak mengalami modifikasi pada ukuran, bentuk, dan rasanya.
0 comments