style
Pakaian Adat Ulee Balang, Baju Khas Aceh yang Bermakna Filosofis
Salah satu kekayaan budaya dari Aceh adalah pakaian adat Ulee Balang. Masyarakat Aceh sejak dahulu sering memakainya untuk acara-acara sakral seperti pernikahan dan upacara adat.
Selain menjadi identitas daerah, pakaian adat ini juga makin terkenal di seluruh Indonesia. Pada tahun 2020, pakaian adat Ulee Balang ditampilkan dalam uang pecahan Rp 75 ribu yang baru.
Pakaian adat yang dipengaruhi budaya Melayu dan Islam ini juga memiliki motif yang indah dan tentunya mengandung filosofi tersendiri.
Dahulu memang yang bisa memakainya hanya keluarga kerajaan, karena memang pakaian adat ini identik dengan seorang pemimpin.
Baca juga: 10 Fakta Pakaian Adat Papua, dari Bahan Hingga Aturan Memakainya
Mulai dipakai di Kerajaan Samudera Pasai dan di zaman dulu hanya sebagian orang yang bisa memakainya
Pada awalnya, pakaian adat Ulee Balang hanya dipakai keluarga kerajaan, yaitu di era Kerajaan Samudera Pasai.
Tapi saat ini sudah bisa dipakai untuk masyarakat umum yang bahkan bukan orang Aceh.
Ada alasannya mengapa dahulu pakaian adat ini sangat eksklusif. Ulee Balang sendiri merupakan sebutan untuk kepala pemerintahan di kesultanan Aceh yang menjadi pemimpin daerah (sagoe) atau wilayah yang setingkat kabupaten atau kota.
Orang yang memegang jabatan sebagai Ulee Balang bergelar Teuku untuk pria atau Cut untuk wanita.
Nama baju untuk pria dan wanita juga berbeda. Untuk pria, dikenal dengan istilah baju Linto Baro. Untuk wanita dikenal dengan istilah baju Daro Baro.
Pakaian adat Ulee Balang untuk pria memang lebih sederhana dibandingkan untuk wanita.
Meskipun sederhana, tapi tetap terlihat berwibawa, sedangkan untuk wanita terkesan menonjolkan keindahan.
Desainnya mendapat pengaruh dari budaya Melayu, agama Islam, dan juga sedikit budaya Tionghoa
Baju Linto Baro berbentuk jas dengan leher tertutup atau baje meukasah, jas yang dilengkapi dengan celana panjang atau baju cekak musang, kopiah (meukeutop), kain sarung atau ija lamgugap, dan ada juga sebilah rencong diselipkan sebagaimana keris pada pakaian adat Jawa.
Meukasah pada umumnya berwarna hitam sebagai cerminan dari kebesaran masyarakat Aceh.
Bagian kepalanya ditutup dengan kopiah yang khas (meukeutop) berbentuk agak lonjong ke atas yang berfungsi layaknya mahkota.
Sementara itu, baju Daro Baro terdiri atas baju kurung dengan lengan panjang, sarung (ija pinggang), dan juga beberapa macam perhiasan.
Desainnya mendapat pengaruh dari budaya Arab dan Melayu, sehingga pakaiannya tampak longgar.
Dilihat dari tampilan keseluruhan, pakaian adat Aceh Ulee Balang juga mencerminkan sejarah di masa lampau.
Bukan hanya dipengaruhi oleh budaya Melayu dan agama Islam, tapi baju adat Ulee Balang juga mendapat sentuhan budaya Tionghoa.
Karena memang menurut sejarahnya, Aceh dahulu pernah jadi jalur perdagangan bangsa China.
Baca juga: 10 Pakaian Adat Sulawesi Selatan Lengkap dengan Aksesorisnya
Bahan dan motifnya banyak terinspirasi dari alam, khususnya tumbuh-tumbuhan
Pada zaman dahulu, bahan pembuat pakaian yang digunakan sangat ditentukan lingkungan atau alam yang ditinggali manusia.
Bahan-bahan pakaian adat di era kerajaan dahulu adalah kulit binatang atau kulit kayu.
Saat ini, bahan yang dipakai adalah beberapa bahan baku kain yang ditenun sendiri. Bisa memakai bahan sutera atau bahan kapas yang diberi beragam hiasan atau motif.
Apa saja motifnya? Sejauh ini, motif yang biasa dipakai adalah motif tumbuh-tumbuhan, sulur daun, dan bunga-bunga.
Masyarakat paling banyak menyukai motif bunga-bunga. Entah itu motif sulur daun, motif bunga, atau motif tumbuhan lain disebut bungong.
Bungong terinspirasi dari dari sekuntum bunga yang tumbuh di alam, misalnya delima (bungong glima), kembang tanjung (keupula), kenanga (seumanga), dan seulupok. Untuk motif binatang, sejauh ini tidak biasa digunakan.
Setiap detail motifnya mengandung makna tentang rezeki dan tanggung jawab keluarga
Motif tumbuh-tumbuhan atau sekuntum memiliki filosofi tentang kesuburan, pertumbuhan, atau kebersamaan.
Orang-orang yang memakainya diharapkan akan bisa mendapatkan kesuburan seperti dalam hal rezeki dan anak-anak yang baik untuk mewarisi keturunan.
Sejauh ini, motif yang dipakai wanita lebih banyak detailnya, khususnya di bagian perhiasan. Tapi perhiasannya juga bukan sekadar hiasan yang memperindah.
Ada satu bagian penting dari perhiasannya, yaitu subang atau anting-anting, taloe tokoe bieung meuih atau perhiasan kalung, dan patam dhoe atau perhiasan yang berbentuk mahkota.
Pada bagian patam dhoe ada sebuah kaligrafi lafadz Allah dan Muhammad di tengahnya dengan motif bunga yang mengelilinginya (bungoh kalimah).
Mahkota seperti ini dipakai pada acara pernikahan dan menjadi sebuah bukti seorang wanita yang sudah menikah menjadi tanggung jawab suaminya.
0 comments