inspirasi
Rahmat Shigeru Ono, Tentara Jepang yang Bergerilya Membela Indonesia
Tidak lama sesudah peristiwa bom Hiroshima dan Nagasaki, akhirnya Jepang menyerah pada sekutu. Semua tentara Jepang di Indonesia diperintah untuk kembali ke negaranya.
Tapi ada juga yang memilih bertahan di Indonesia, salah satunya adalah Rahmat Shigeru Ono. Ada alasan khusus mengapa ia tidak ingin kembali ke Jepang, bahkan sampai akhir hayat pun tetap di Indonesia.
5 tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ia keluar dari kemiliteran, menikah dengan orang Indonesia dan hidup sederhana dengan menjadi seorang petani apel dan sayuran di Malang.
Meskipun bukan orang Indonesia asli, ia sering mendapatkan perhargaan dari kemiliteran Indonesia karena jasanya. Baru pada tahun 1962 ia resmi menjadi WNI.
Baca juga: 10 Kebiasaan Orang Kalimantan, Banyak yang Bernilai Sakral
Sempat berniat untuk melakukan hara-kiri seperti tentara Jepang lainnya
Ada sebuah keputusan hidup dan mati yang harus ia ambil setelah Jepang tidak lagi menduduki Indonesia.
Telah lama menjadi budaya Jepang bahwa hara-kiri (bunuh diri demi kehormatan) adalah sesuatu yang dahulu dianggap mulia. Begitu juga saat Jepang kalah dari Sekutu.
Para tentara dilanda kegelisahan pada pilihan untuk bertahan di Indonesia atau pulang ke negerinya yang sedang porak poranda.
Beberapa yang tidak ingin pulang juga tidak punya harapan hidup di Indonesia dan memilih melakukan hara-kiri. Ia sempat ingin melakukannya, tapi akhirnya memilih melanjutkan hidup di Indonesia.
Melalui saran dari komandan polisi militer Jepang, Kapten Sugono saat di Bandung, ia keluar dari kemiliteran Jepang.
Untuk menjadikan dirinya terlihat seperti orang Indonesia, ia pakai peci dan sarung lalu melumuri tubuh dengan lumpur supaya kulitnya lebih terlihat gelap. Ia juga menambah kata ‘Rahmat’ di depan nama aslinya.
Memiliki alasan khusus mengapa tetap ingin tinggal di Indonesia
Melalui sebuah buku Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono, ada alasan mengapa tentara Jepang tetap di Indonesia.
“Kami yang memilih menetap di Indonesia ada banyak alasan, tapi menurut saya yang pertama adalah keinginan besar untuk membebaskan Asia dari bangsa-bangsa Barat.”
“Indonesia sudah banyak membantu Jepang, menjanjikan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Tapi, Jepang kalah pada Sekutu. Tentara Jepang sangat marah dengan itu. Seharusnya kami tetap di Indonesia.”
Ikatan batinnya dengan Indonesia menguat ketika melihat peristiwa Bandung Lautan Api. Ia sempat menyaksikan Kota Bandung dengan brutalnya dibakar, orang-orang dipukuli, dan dibunuh tanpa belas kasih. Sementara itu tentara Jepang di Bandung diperlakukan dengan sangat baik.
Baca juga: Uniknya Sand Dollar, Hewan Laut Berbentuk Koin yang Dapat Mengkloning Diri Sendiri
Selain perang gerilya, banyak tugas penting dijalankannya
Ia sempat jadi pelatih untuk pemuda Indonesia. Dari Bandung kemudian pindah ke daerah Yogyakarta. Di sana ada tugas penting yang harus segera dijalankan.
Bukan hanya bergerak di medang perang, ia juga menulis dan menerjemahkan beberapa buku tentang strategi perang. Buku ringkasan strategi perang diterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Ia juga menyusun buku panduan perang gerilya karena perintah dari Kolonel Zulkifli Lubis, petinggi militer di Indonesia saat itu. Bersama mantan serdadu Jepang lainnya, ia tergabung ke dalam Pasukan Gerilya Istimewa
Pada bulan Juni 1947 ia gerilya di Mojokerto saat penyerangan markas KNIL. Ia sempat menjalani beberapa tugas penting sampai pengakuan kedaulatan RI.
Salah satu tugasnya yang penuh pengorbanan adalah saat menciptakan senjata granat rakitan yang meledak di tangannya.
Peristiwa yang terjadi sehari sebelum hari ulang tahunnya terpaksa merenggut tangan kirinya yang terpaksa diamputasi.
Sempat berganti-ganti pekerjaan dan menikmati sisa hidup di Indonesia
Setelah pengakuan kedaulatan RI akhir tahun 1949, ia menetap di Malang dan mengisi waktunya dengan bertani. Ia mengaku senang tinggal di Indonesia karena bisa panen sayuran kapan saja.
Tahun 1950, ia menikah dan memiliki lima orang anak. Orang-orang di sekelilingnya mengenal pribadinya yang hangat dan penyayang keluarga.
Di masa Orde Baru, pekerjaannya berganti-ganti. Mulai dari pegawai perusahaan peternakan, eksportir rotan di Pulau Kalimantan, sampai salesman lampu.
Begitu pensiun tahun 1995, ia pun kembali ke Malang dan kembali bertani, menjalani masa tua di desa, dan sesekali menerima kedatangan wartawan. Karena sakit, ia meninggal pada tanggal 25 Agustus 2014.
0 comments