inspirasi
Suriname, Jauh dari Nusantara Namun Banyak Warga Keturunan Jawa
Nama negara Suriname memang tak sementereng negara-negara Eropa atau Asia Timur yang akrab d telinga masyarakat Indonesia. Suriname adalah negara yang berada di Amerika Selatan.
Jauh dari nusantara, kenyataannya negara ini sangat berhubungan secara historis dengan Indonesia. Hal ini disebabkan keberadaan keturunan suku Jawa di negara tersebut.
Keberadaan keturunan suku Jawa di Suriname tak lepas dari penjajahan Belanda di Indonesia. Jauh sebelum pemerintah Republik Indonesia mengirim puluhan ribu tenaga kerja Indonesia (TKI), pemerintah Hindia Belanda rupanya sudah mengirimkan tenaga kerja ke Suriname, yang waktu itu juga negara di bawah koloni pemerintah kerajaan Belanda.
Hidup jauh dari kampung halaman dan dipisahkan dari sanak saudara, para pekerja yang berasal dari Jawa ini harus berjuang dengan hidup mereka.
Selain terpasa bekerja di bawah kekuasan pemerintah kerajaan Belanda, mereka akhirnya menjadi bagian dari negara tersebut. Lantas, seperti apa sih persisnya sejarah keturunan suku Jawa di Suriname?
Baca juga: Operasi Woyla, Pembajakan Pesawat 4 Hari Ditumpas 3 Menit oleh Kopassus
Jauh dari kampung halaman dan dipisahkan dari keluarga
Sejak tahun 1890 hingga 1939, Pemerintah Kerajaan Belada disebut telah mengirimkan 32.956 orang dari Pulau Jawa ke Suriname. Tujuannya untuk menambah tenaga kerja di perkebunan yang ada disana.
Perekonomian Suriname memang bergantung pada hasil kebun. Namun akibat dari dihapuskannya sistem perbudakan pada 1 Juli 1863, praktis tak ada tenaga yang sudi mengurus perkebunan.
Di sisi lain, penduduk di Pulau Jawa juga sedang merasakan kesulitan ekonomi akibat bencana meletusnya gunung berapi dan padatnya penduduk di Pulau Jawa.
Pertimbangan inilah yang membuat Pemerintah Kerajaan Belanda mantap mengirim tenaga kerja ke negara yang letaknya jauh dari nusantara.
Pengiriman tenaga kerja pertama dilakukan pada 21 Mei 1890 dari Batavia dan tiba di Suriname pada 9 Agustus 1890.
Untuk memperingati kedatangan masyarakat suku Jawa pertama, pemerintah Suriname menetapkan 9 Agustus sebagai hari libur nasional, tepatnya hari penduduk asli atau Day of the Indigeneous People.
Menjadi pekerja di perkebunan hingga memiliki hak untuk kembali ke tanah air
Dilansir dari historia, para pekerja mendapatkan kontrak selama 5 tahun. Untuk pekerja pria digaji 60 sen sedangkan pekerja wanita digaji 40 sen.
Hingga tahun 1930, pekerja asal Jawa bekerja di perkebunan tebu, kakao, kopi dan pertambangan bauksit. Mereka juga harus bekerja selama 6 hari dalam seminggu. Tiap harinya bekerja selama 8 jam di perkebunan dan 10 jam di pabrik.
Ketika kontrak selesai, pemerintah kolonial menawarkan 3 pilihan: menamah kontrak baru, menjadi petani di Suriname atau kembali ke Pulau Jawa. Sekitar 23,3% memutuskan untuk pulang.
Sisanya memilih tidak pulang lantaran perjalanan 3 bulan menggunakan kapal dirasa sangat melelahkan mereka akhirnya beranak pinak dan hingga sekarang keturunannya banyak di Suriname.
Hadapi diskriminasi hingga disebut malas dan tak berguna
Dilansir dari kumparan, awal kehidupan di Suriname, para pekerja mendapatkan diskriminasi dari pemerintah kolonial. Mereka diberi label ‘malas’, ‘pengganggu’ dan ‘tidak berguna’.
Label ini tak lain karena status pekerja dari Jawa sebagai buruh perkebunan. Mereka juga tak mendapatkan pendidikan yang layak dan tak memiliki hak pilih ketika pemilu parlemen di Suriname.
Namun diskriminasi yang didapatkan pekerja asal Jawa bersama dengan pekerja asal India ternyata tak membuat mereka berhenti berkontribusi untuk pembangunan di Suriname.
Dalam buku The Difficult Flowering of Surinam: Ethnicity and Politics in a Plural Society, sejarawan Edward Dew bahkan mengemukakan bahwa orang Jawa ikut mempersatukan Suriname yang begitu beragam.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Ayana Moon, Jadi Mualaf & Selebgram Terkenal
Atasi diskriminasi dengna perjuangankan hak-hak lewat jalur politik
Masyarakat Jawa disana sempat terseret polemik identitas. Partai yang ada yaitu Surinaamse Hindoe Partij juga berganti nama menjadi Hindoe Javanase Politikej Partij. Partai ini diisi oleh orang-orang keturunan India dan Jawa.
Ketika Indonesia tengah memperjuangkan kemerdekaan, mereka juga mendukung penuh saudaranya di Indonesia disertai harapan bisa kembali ke kampung halaman.
Di Suriname sendiri, mereka mendirikan berbagai organsasi. Iding Soemitra salah satunya, ia mendirikan Persatuan Indonesia pada 1946. Salikin M. Hardjo juga mendirikan Persatuan Indonesia Suriname. Kedua organisasi ini mendukung kemerdekaan Indonesia dan Suriname.
Tidak hanya pada era sebelum kemerdekaan, keturunan Jawa di Suriname juga memiliki pengaruh besar. Nama Raymond Sapoen yang merupakan calon presiden Suriname pada 2015 sempat menghebohkan. Sapoen merupakan cucu kuli kontrak asal Banyumas, Jawa Tengah.
Masih mencintai budaya leluhur meski sudah ratusan tahun tak berhubungan langsung dengan Pulau Jawa
Meski para pekerja asli asal Jawa sudah tiada, namun keturunan mereka nyatanya masih mencintai budaya leluhur mereka. Bahasa Jawa ‘ngoko’ masih digunakan oleh para orangtua dan kalangan terbatas.
Tidak hanya bahasa, budaya Jawa juga menjadi favorit disana. Seperti wayang kulit, wayang orang, tayub, karawitan, tarian jaran kepang dan ludruk.
Sultan Hamengkubuwono X pernah mengirimkan satu set alat gamelan sebagai bentuk persaudaraan. Selain itu, penyanyi campur sari legendaris Indonesia, Didi Kempot, juga dikenal dan lagu-lagunya menjadi favorit warga Suriname.
0 comments