inspirasi
Rebo Wekasan, Tradisi Jawa di Bulan Safar untuk Menolak Bala
Ada sebuah tradisi tahunan di Jawa yang disebut dengan Rebo Wekasan. Dilaksanakan pada hari Rabu terakhir bulan Safar pada kalender Hijriyah, tradisi ini bertujuan untuk menolak bala.
Meskipun istilah tersebut sebenarnya masih cukup asing bagi sebagian masyarakat, tapi ternyata sempat trending di media sosial. Ada keyakinan bahwa hari Rabu terakhir di bulan Safar akan muncul berbagai penyakit atau bencana.
Maka dari itu, masyarakat mengantisipasinya dengan amal ibadah dan rutual khusus.
Baca juga: Apa Itu Mothman, Makhluk Misterius yang Melayang di Langit
Dijalankan sebagai bentuk ketaatan dan usaha untuk menangkal bencana
Rebo Wekasan berasal dari bahasa Jawa dan disebut juga dengan beberapa nama seperti Rabu Pungkasan, Rabu Pamungkas, atau Arba Musta’mir dalam bahasa Arab.
Kegiatannya dilakukan secara rutin pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Bulan Safar sendiri merupakan bulan kedua dalam penanggalan Hijriyah. Pada tahun 2020, Rebo Wekasan bertepatan dengan tanggal 14 Oktober 2020.
Masyarakat mengisinya dengan ritual ibadah dan upacara adat. Umat Islam dianjurkan melaksanakan salat, sedekah, dan kebaikan untuk sesama.
Selain bentuk ketaatan, masyarakat yang meyakininya berusaha untuk menghindar dari segala bahaya yang mungkin mengancam.
Meskipun dianjurkan beribadah, tapi tradisi di bulan Safar yang semacam Rebo Wekasan sebenarnya tidak ada tuntunan khusus yang dicontohkan Nabi Muhammad.
Sudah ada sejak abad ke-17 dan lebih banyak daerah pesisir yang menjaga tradisinya
Rebo Wekasan berawal dari Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi pada kitab Fathul Malik Al Majid Al Muallaf Li Naf’il Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid atau Mujarrobat ad-Dairobi.
Menurut Karel A. Steenbrink dalam buku Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (1984) disebutkan bahwa tradisi Rebo Wekasan sudah ada sejak abad ke-17 awal.
Tidak hanya di Jawa, tapi juga di Aceh, Sumatera, Riau, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Di wilayah Jawa, lebih banyak masyarakat tepi pantai yang menjalankannya.
Dilansir dari Islamnusantara, wilayah pesisir yang menjaga tradisi ini pada umumnya relatif lebih kuat keislamannya dibandingkan daerah pedalaman.
Di sebagian lingkungan masyarakat Jawa, Madura, dan Sunda, tradisi ini masih berlangsung secara turun-temurun dalam bentuk upacara adat.
Menurut hadits nabi, sebenarnya tidak ada malapetaka di bulan Safar
Menurut buku Risalah Ahlusunnah Wal Jama’ah An Nahdliyah, tradisi yang menganggap bahwa bulan Safar banyak kesialan dan penyakit adalah berasal dari bangsa Arab di zaman kuno. Bahwa di akhir bulan Safar disebut-sebut sebagai hari-hari tersulit dalam setahun.
Sementara itu, hukum untuk meyakini tentang terjadinya bencana dan penyakit di minggu terakhir bulan Safar pernah disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim.
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: ‘Tidak ada penyakit menular, tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Safar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang’”
Hadits di atas adalah respon Nabi Muhammad pada tradisi yang berlaku pada zaman Jahiliyah.
Baca juga: Sejarah Kancing Baju, Benda Mungil dari Peradaban Mohenjo-Daro
Tradisi Rebo Wekasan masih bisa terus dijaga sebagai momen silaturahmi
Hal yang penting dipahami umat Islam di dalam masyarakat Jawa adalah tentang niatnya, khususnya dalam ibadah salat. Jika niatnya adalah ibadah salat Rebo Wekasan, maka hal yang seperti itu justru menyimpang dari ajaran agama.
Tapi kalau niatnya salat Hajat, yakni salat sunnah agar permohonannya terkabul atau berlindung dari hal-hal yang dikhawatirkan (hajat li daf’il makhuf), itu dianjurkan tanpa menunggu bulan Safar.
Waktu ibadahnya bisa dilakukan di malam hari atau siang hari. Pada umumnya salat dilakukan sebanyak empat rakaat dengan dua kali salam.
Di luar kegiatan keagamaan, tradisi Rebo Wekasan masih bisa dijaga sebagai momen silaturahmi, sedekah, dan selamatan.
0 comments