inspirasi
Kisah Amul Huzni, Tahun Duka Cita yang Dialami oleh Nabi Muhammad SAW
Ada suatu masa yang dikenal sebagai tahun duka cita atau amul huzni bagi Nabi Muhammad. Amul huzni menjadi momen yang berat karena Nabi Muhammad SAW kehilangan orang-orang terpenting dalam hidupnya.
Dalam waktu berdekatan, paman dan istrinya yang selalu memberi dukungan dalam berdakwah harus wafat di saat ancaman dari kaum kafir Quraisy masih sangat besar.
Meskipun tidak mudah dilalui, tapi pada akhirnya ada banyak hikmah yang bisa diambil.
Baca juga: Misteri Lukisan Mona Lisa, Karya Leonardo da Vinci yang Menyimpan Banyak Rahasia
Nabi Muhammad bersedih ditinggal wafat pamannya yang belum beriman
Amul huzni terjadi pada tahun ke-10 sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi nabi.
Duka cita pertama adalah karena wafatnya Abu Thalib, paman Nabi Muhammad yang mengalami sakit sampai akhirnya tutup usia pada usia ke-80 tahun.
Penyakit yang sudah menjalar seluruh bagian tubuh Abu Thalib membuatnya tidak mampu bertahan lagi. Setelah beberapa waktu tidak bisa beranjak dari tempat tidurnya, Abu Thalib mengalami sakaratul maut.
Nabi Muhammad ada di sisinya dan berharap supaya pamannya menyebut nama Allah sebelum wafat. Tapi di sekitarnya juga masih ada orang-orang terdekat yang berusaha menghalangi.
Misalnya Abu Jahal yang berkata agar Abu Thalib tidak meninggalkan agama leluhur. Nabi Muhammad memang sedih karena pamannya wafat, tapi lebih sedih lagi karena wafatnya belum menjadi muslim.
Abu Thalib seumur hidupnya melindungi Nabi Muhammad dalam kondisi apapun
Semasa hidupnya, Abu Thalib merawat Nabi Muhammad sejak berusia delapan tahun. Abu Thalib menggantikan peran ayahnya, Abdul Muthalib yang juga merupakan kakek Nabi Muhammad.
Sejak kecil, Nabi Muhammad sudah dirawat seperti anak sendiri oleh Abu Thalib dan istrinya. Nabi Muhammad selalu diajak ke mana saja.
Para petinggi Quraisy pernah merencanakan maksud jahat agar Nabi Muhammad berhenti untuk menyebarkan agam Islam.
Berbagai macam teror dilancarkan, entah itu berupa kata-kata makian, serangan, blokade, sampai ancaman pembunuhan.
Petinggi kaum Quraisy seperti Abu Jahal dan Abu Lahab pernah datang pada Abu Thalib agar bersedia membujuk Nabi Muhammad supaya berhenti berdakwah.
Selama Abu Thalib masih hidup, segala macam kejahatan tidak mempan pada Nabi Muhammad. Abu Thalib tetap mendukung dan melindungi Nabi Muhammad dalam kondisi apapun.
Baca juga: Sejarah Air Zam-zam, Berawal dari Hentakan Kaki Nabi Ismail dan Tidak Pernah Surut
Siti Khadijah yang sudah menjadi pendamping 25 tahun juga menyusul wafat
Belum sembuh kesedihan karena kehilangan sang paman, disusul kemudian wafatnya istrinya, Siti Khadijah dalam usianya ke-65 tahun.
Melalui kitab Fiqhus Sirah, Syekh Sa’id Ramadhan Al Buthy menyebut bahwa jarak waktu meninggal Abu Thalib dan Siti Khadijah hanya sebulan lebih lima hari.
Saat itu tiga tahun terhitung sebelum peristiwa hijrah ke Madinah atau tahun 619 Masehi.
Duka cita Nabi Muhammad semakin dalam karena Siti Khadijah sudah mendampingi selama 25 tahun dan menjadi support system terbaik.
Siti Khadijah juga menjadi sosok yang sejak awal taat pada ajaran Islam yang disampaikan Nabi Muhammad, memberi dukungan untuk perjuangan dakwah Islam melalui sepenuh jiwa, raga serta hartanya.
Sebagai istri yang melahirkan anak-anak, tentunya Siti Khadijah juga memberi ketenangan dan kebahagiaan untuk Nabi Muhammad.
Sepeninggal Abu Thalib dan Siti Khadijah, para petinggi kaum Quraisy semakin keji
Nabi Muhammad sangat terpukul selama amul huzni karena dua sosok yang baru saja meninggalkannya adalah ‘tulang punggung’ untuk kegiatan dakwah sekaligus memberi kekuatan dan ketabahan hati.
Kisah amul huzni yang dialami Nabi Muhammad semakin mempertegas bahwa cobaan, ujian dan tantangan dalam dakwah memang tidak dapat dihindari.
Setelah Abu Thalib dan Siti Khadijah wafat, orang-orang Quraisy pun semakin berani dan keji tindakannya kepada Nabi Muhammad.
Melalui takdir meninggalnya kedua orang terdekat Nabi Muhammad, Allah menunjukkan pada orang-orang yang beriman bahwa dukungan dari sesama manusia tidak abadi.
Entah itu dukungan moral maupun material, bisa menghilang saat cobaan hidup lainnya sedang memuncak.
Dengan demikian, maka Nabi Muhammad bisa lebih kuat setelah menerima keadaan, bertawakkal, dan begantung pada Allah saja.
0 comments