inspirasi
Asal-usul Dialek Ngapak, Bahasa Jawa Tertua yang Blak-blakan
Bahasa ngapak adalah salah satu dialek dalam bahasa Jawa yang terkenal. Keberadaannya di tengah masyarakat Banyumas dan sekitarnya sudah berabad-abad yang lalu.
Beberapa kosa katanya cukup familiar bagi orang Indonesia, misalnya; kepriwe, aja kaya kuwe, dan inyong kencot. Cara pengucapannya penuh penekanan, tegas, blak-blakan, dan banyak yang menilainya jenaka.
Bahkan yang tidak paham artinya pun langsung bisa mengenali seperti apa pengucapan dialek ngapak. Dialek ini tetap bertahan dan menjadi wujud dari kekayaan bahasa Jawa di Indonesia.
Sejarahnya pun menyangkut tentang aspek budaya kerajaan di Jawa. Beginilah asal usul dialek ngapak.
Baca juga: Bisbol: Sejarah, Ukuran Lapangan, Aturan Permainan, dan Istilah Penting
Cikal bakalnya adalah para pendatang yang menetap di wilayah lereng gunung Slamet
Sebelum mengetahui asal usul dialek ngapak selengkapnya, perlu kita ketahui bahwa bahasa Jawa dibagi jadi 4 dialek yaitu; dialek Banyumas, dialek Pesisir, dialek Surakarta atau Solo, dan dialek Jawa Timuran.
Bahasa ngapak disebut juga dialek Banyumas karena memang asal usulnya dari nenek moyang masyarakat Banyumas.
Nenek moyang masyarakat Banyumas sendiri asalnya dari Kutai, Kalimantan Timur sebelum era penyebaran agama Hindu.
Berdasarkan catatan sejarawan Van Der Muelen, abad ke-3 SM, orang-orang dari Kutai mendarat di tanah Jawa. Sebagian dari mereka menghuni lereng gunung Ciremai dan sebagian yang lain menetap di lereng Gunung Slamet.
Yang berasa di sekitar Gunung Slamet membangun kerajaan Galuh Purba yang kemudian jadi cikal bakal dari kerajaan di tanah Jawa.
Banyumas dan sekitarnya tidak terpengaruh aturan berbahasa dari Kerajaan Mataram
Penggunaan bahasa ngapak tidak lepas dari adalanya faktor politik di era Kerajaan Mataram.
Saat itu, Kerajaan Mataram berusaha menerapkan kedisiplinan dalam hal perilaku, busana sesuai tingkatan sosial, sampai cara berbahasa di tengah masyarakat.
Masyarakat di wilayah Surakarta atau Yogyakarta sangat terpengaruh kultur yang diatur kerajaan, tapi tidak dengan wilayah Banyumas dan sekitarnya.
Menurut Budiono Herusatoto dalam buku Banyumas: Sejarah Budaya dan Watak, daerah Banyumas cukup jauh dari Kerajaan Mataram sebagai pusat pemerintahan.
Karena itulah wilayahnya tidak banyak terpengaruh oleh aturan tentang bahasa.
Tidak seperti bahasa masyarakat di lingkungan kerajaan yang lebih banyak aturannya, dialek ngapak tidak terikat pada tingkatan atau unggah-ungguh yang halus seperti di sekitar Kerajaan Mataram.
Baca juga: Sofbol: Sejarah, Ukuran Lapangan, Aturan Permainan, dan Istilah Penting
Diucapkan dengan penekanan khusus yang terdengar unik bagi sebagian orang
Jika dirunut sejarahnya, ternyata dialek ngapak juga disebut bahasa Jawadwipa, yang merupakan bahasa asli orang Jawa atau bahasa Jawa tertua.
Selain Banyumas, penutur dialek ini adalah orang-orang Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap, dan Kebumen.
Lalu apa bedanya dengan bahasa Jawa di bagian timur seperti daerah Solo dan Jogja? Salah satunya adalah akhiran ‘a’ yang tetap diucapkan ‘a’ dan bukan ‘o’ seperti dalam bahasa Jawa orang Solo atau Jogja.
Huruf-huruf konsonan h, d, g, b, c, k, l, w diucapkan dengan penekanan khusus yang membuatnya terdengar unik bagi orang yang tidak paham artinya.
Kata-katanya yang berakhiran dengan huruf mati memang dilafalkan sedemikian rupa dengan penekanan tersendiri. Itulah yang menjadikan dialek ngapak identik dengan bahasa yang medhok.
Menjadi simbol dari karakter yang sederhana dan blak-blakan (blakasuta)
Memang ada sebagian orang yang sejak kecil sudah berlogat ngapak, tapi saat merantau ke kota lain cara bicaranya berubah karena sering ditertawakan temannya dan dijadikan bercandaan.
Bagaimanapun, bahasa Jawa ngapak tetaplah menjadi warisan leluhur yang bernilai budaya yang tinggi, sehingga layak untuk dijaga dan dilestarikan.
Sampai sekarang, bahasa ngapak menjadi simbol karakter yang sederhana dan lugas.
Konon masyarakatnya menganggap keberadaan golongan bangsawan (priyayi) tidak berbeda dari manusia biasa.
Cara bertuturnya juga cenderung terkesan blak-blakan (blakasuta) tidak mempersoalkan status sosial. Bukan berarti mengabaikan tata krama, tapi mengedepankan prinsip kesetaraan.
Itulah mengapa saat persaudaraan sesama penutur dialek ngapak begitu kuat, khususnya ketika di perantauan.
Masyarakatnya menjunjung nilai kerukunan, solidaritas, dan jauh dari feodalisme yang menilai orang dari kedudukannya dalam kehidupan sosial.
0 comments