inspirasi
Asal Usul Bakiak, Wujud Perpaduan Budaya Jawa dan Tionghoa
Alas kaki merupakan barang penting yang wajib dimiliki semua orang. Dengan jenisnya yang beragam, kini bahkan setiap orang memiliki jenis alas kaki yang berbeda untuk setiap kesempatan.
Seperti sepatu olahraga untuk berolahraga, sepatu hak untuk pesta, pantofel untuk berkerja, sandal untuk jalan santai, dan masih banyak lagi.
Omong-omong tentang sandal, hampir sebagian besar masyarakat Indonesia sepakat bahwa sandal karet adalah yang ternyaman.
Lalu sebelum itu, sandal jenis apa yang banyak digunakan masyarakat Indonesia khususnya di Pulau Jawa? Jawabannya adalah bakiak.
Sandal yang terbuat dari kayu dengan bentuk khas ini selalu bisa membangkitkan kenangan orang-orang yang pernah merasakan bagaimana dulu alas kaki ini begitu populer.
Baca juga: Asal Usul Ketupat, Kuliner Khas Idulfitri yang Berawal dari Sunan Kalijaga
Asal usul bakiak: dari Jepang atau Tiongkok?
Kira-kira, seberapa banyak orang yang tahu tentang asal usulnya? Bakiak merupakan salah satu alas kaki berbahan kayu yang banyak dikira berasal dari Jepang.
Karena sejak zaman dahulu Jepang memiliki alas kaki dengan bentuk serupa bernama geta, di mana geta biasanya dipakai dikalangan geisha.
Padahal sebenarnya, asal muasal bakiak atau yang juga biasa disebut terompah kayu ini adalah dari Tiongkok.
Awal mula cerita mengenai alas kaki berbahan kayu ini berawal di Negeri Tiongkok. Bahkan sebelum masa Dinasti Han pada abad ke 2 Sebelum Masehi, para bangsawan wanita telah memakai bakiak.
Juga tersebar ke beberapa negara seperti Korea, Jepang, dan sampai ke Nusatara
Orang Tiongkok zaman dahulu menyebut bakiak  dengan mu-ju. Namun dalam dialek Hokkian namanya menjadi Bak-kia.
Kemudaian mu-ju, bersama kebudayaan Tionghoa lainnya, tersebar ke berbagai negara seperti Korea, Jepang, dan banyak negara lainnya termasuk Nusantara.
Ternyata, bahkan geta yang terkenal dari Jepang juga merupakan turunan dari mu-ju, alias hasil perpaduan budaya dari Negeri Tirai Bambu ini. Sementara itu, di negara Filipina alas kaki ini disebut bakya.
Asal usul versi awal ini berbeda dengan yang banyak digunakan masyarakat Indonesia karena dihiasi dengan gambar lukisan bunga-bunga cantik yang menunjukkan kesan yang cenderung feminin.
Baca juga: Cerita di Balik Batik Truntum, Dari Kisah Romantis hingga Nilai Filosofis
Dari alas kaki wanita bangsawan menjadi alas kaki kuli dan buruh
Seiring berjalannya waktu, ada masa di mana pemakaian bakiak di Tiongkok akhirnya musnah. Namun ternyata pada zaman Dinasti Tang masih ada sekelompok orang dari Tiongkok Utara yang memakainya.
Mereka merantau ke Selatan, tepatnya tanah Hokkian, menggunakan bakiak. Sekelompok orang ini disebut Tang-lang. Alasan mereka masih memakainya adalah karena murah dan awet.
Ketika banyak orang Tionghoa merantau ke Asia Tenggara, di mana kebanyakan merupakan orang Tang-lang, bakiak pun akhirnya ikut terbawa.
Jika pada awalnya bakiak merupakan alas kaki yang biasa dipakai wanita bangsawan, setelah masa perantauan ini bakiak dibuat menjadi sangat sederhana dan dijual sangat murah. Tidak heran jika penggunannya banyak dari kalangan kuli dan buruh.
Masih digunakan hingga hari ini, namun bukan untuk kegiatan sehari-hari
Berawal dari kuli dan buruh, pada akhirnya beberapa hal seperti murah, awet, dan nyaman, menjadikan bakiak disenangi oleh masyarakat Jawa.
Penggunaannya pun jadi lebih merakyat dan sangat populer sebagai alas kaki sehari-hari. Inilah mengapa alas kaki ini disebut sebagai wujud perpaduan budaya Jawa dan Tiongkok.
Sama seperti kisah musnahnya bakiak di dataran Tionghoa, bakiak kini telah terganti dengan alas kaki yang lebih modern dan lebih nyaman.
Demikianlah asal usulnya yang terkait dengan beberapa budaya. Meskipun masih ada, namun penggunaannya bukan untuk aktivitas sehari-hari melainkan menjadi alas kaki untuk berwudhu di masjid-masjid.
0 comments