inspirasi
Suku Korowai, Penduduk Asal Papua dengan Rumah Pohon Tertinggi
Papua bukan hanya terkenal karena kekayaan alamnya, tapi juga kehidupan suku asli di dalamnya. Masih banyak penduduknya yang menjalani kehidupan dengan cara unik.
Misalnya Suku Korowai yang ada di selatan Papua yang tempat tinggalnya berada di antara dua sungai dan gunung. Berbeda dari suku pedalaman Papua yang lain, mereka tidak memakai koteka.
Suku Korowai yang tinggal di rumah pohon ternyata keberadaannya baru ditemukan kurang lebih 35 tahun yang lalu.Â
Rumah pohon yang mereka buat bertujuan untuk menghindarkan diri dari binatang liar yang berbahaya atau dari gangguan roh jahat.
Baca juga: Suku Dassanech Ethiopia, Pakai Perhiasan dari Bahan Sampah
Tempat tinggalnya adalah di atas pohon agar terhindar dari binatang buas dan roh jahat
Di Papua, Suku Korowai menduduki daerah Kaibar, Kabupaten Mappi. Tempat tinggal mereka berjarak kurang lebih 150 km dari Laut Arafura.
Saat ini populasi mereka mencapai kurang lebih 3000 orang. Satu hal yang menjadikan mereka unik adalah tempat tinggalnya di atas pohon.
Rumah mereka dibuat di dahan yang tingginya mencapai 15-50 m. Rumahnya yang tinggi tidak dibangun tanpa alasan.
Ada keyakinan sejak dahulu bahwa rumah pohon bisa menghindarkan dari serangan binatang buas atau bahkan roh jahat yang mengganggu.
Mereka meyakini bahwa jika rumahnya semakin tinggi berarti semakin aman dari ancaman roh jahat. Roh jahat atau iblis yang mereka hindari adalah laleo yang sangat kejam.
Sosok laleo merupakan sejenis makhluk mirip mayat hidup yang bisa berjalan sekaligus berkeliaran di malam hari. Bahkan orang asing yang bukan termasuk golongan sendiri disebut laleo.
Semua bahan untuk membangun rumahnya berasal dari alam dan tidak sembarang memilih
Penduduk Suku Korowai sangat menghargai nenek moyang. Itulah mengapa mereka pun beranggapan kalau cara membangun rumah yang tinggi adalah warisan leluhur yang tetap harus dilestarikan.
Dalam membuat rumah pohonnya, mereka tidak boleh sembarangan memilih pohon.
Harus dipilih pohon besar dan terlihat kokoh untuk menjadi fondasi rumah. Bahkan pucuk pohonnya harus digunduli untuk menjadi hunian sehari-hari.
Seluruh bahan penyusunnya memang terbuat dari bahan alami. Kerangkanya dibuat dari batang kayu yang kecil. Lantainya pun memakai cabang pohon.
Daun hutan dan kulit pohon sagu digunakan untuk dinding dan atap rumah. Semua bahannya diikat dengan tali. Talinya adalah akar atau ranting yang sangat kuat.
Baca juga: Asal Usul Henna, Tradisi Melukis Tangan dari Timur Tengah
Dengan memiliki rumah yang sangat tinggi, maka mereka merasa aman dari ancaman luar
Karena rumah yang mereka bangun tersusun dari bahan-bahan alami, biasanya rumah hanya bisa bertahan sampai tiga tahun saja kemudian harus diperbarui.
Meskipun hanya ditempati untuk waktu yang tidak begitu lama, tapi sebelum membangun rumah juga ada ritual khusus di malam harinya untuk mengusir para roh jahat.
Pada umumnya, penduduk butuh waktu tujuh hari untuk membuat rumah pohon. Waktu yang ditentukan juga ada kaitannya dengan adat leluhur.Â
Memang untuk memasuki rumah harus susah payah memanjat di pohon tinggi, tapi itulah yang membuat mereka tetap merasa aman dan nyaman dari ancaman dunia luar.
Sejak ratusan tahun sampai tahun 1975, Suku Korowai hanya kenal dengan golongannya sendiri dan nyaris tidak punya akses dengan dunia luar.
Tetap menjalani hidup selaras dengan alam dan menjaga perdamaian antar manusia
Lalu bagaimana mereka memandang kehidupan sekitarnya? Mereka melihat hutan sebagai sebuah sendi kehidupan, sedangkan hewan babi dan anjing di hutan adalah hewan piaraan.
Mereka menganggap babi mempunyai nilai sosial tertentu dan hanya boleh dibunuh dalam ritual atau acara khusus.
Sementara itu, anjing digunakan untuk berburu. Mereka pada umumnya merupakan para pemburu andal yang punya keterampilan untuk bertahan hidup di alam.
Meski hidup di alam bebas, mereka juga memegang prinsip kedamaian dan kesetaraan di dalam hubungan sesama manusia. Tanpa harus ada strata sosial tertentu seperti kepala suku, panglima perang, dan sejenisnya.
Yang pasti sebagai suku pedalaman, kehidupan mereka selalu selaras dengan alam dan menjaga kelestarian alam agar tidak rusak
0 comments