lifestyle
Hoarding Disorder, Kebiasaan Menumpuk Banyak Barang di Rumah
Benda-benda di rumah memang sering memenuhi ruangan, walau sebenarnya sudah tidak begitu berfungsi. Kadang ada perasaan tidak ikhlas untuk membuangnya begitu saja, akhirnya ditumpuk di beberapa sudut rumah.
Pernahkah kamu mengenal penghuni rumah yang punya ‘hobi’ tidak biasa, yaitu menyimpan banyak barang-barang yang sebenarnya sudah tidak terpakai?
Meskipun rumah atau ruangannya sudah sesak dipenuhi barang-barang, tapi kebiasaannya tidak berhenti. Kebiasaan seperti itu dikenal dengan hoarding disorder.
Baca juga: Hara Hachi Bu, Cara Orang Jepang Mengatur Pola Makan Sehat
Barang yang disimpan adalah sesuatu yang sudah tidak berfungsi, tapi dianggap berharga
Perilaku hoarding disorder umumnya terkait dengan barang-barang lama yang sebenarnya fungsinya sudah tidak optimal lagi, tapi dianggap masih berguna suatu saat nanti.
Walau sudah hampir rusak, tapi pemiliknya percaya bahwa barang yang disimpan masih bisa diperbaiki, diubah fungsinya dan dipakai lagi.
Bukan hanya karena fungsinya, barang-barang disimpan karena dinilai memiliki kenangan atau sejarah yang berkesan.
Penyebab dari hoarding disorder memang tidak pasti, tapi hal ini ada kaitannya dengan peristiwa traumatis di masa lalu, contohnya ditinggal oleh orang terdekat.
Barang-barang yang disimpan adalah upaya untuk ‘mengabadikan’ kenangan bersama orang yang telah meninggalkannya.
Barang yang disimpan juga beragam, misalnya buku, bungkus makanan, koran, plastik, botol bekas, kemasan skincare yang sudah habis, dan lain-lain.
Tidak sama seperti kolektor, pelaku hoarding disorder mengalami beberapa ciri berikut
Orang yang mengalami hoarding disorder hanya menyimpan dengan sembarangan tanpa merawat secara khusus. Pelakunya juga disebut hoarder.
Kebiasaan menyimpan benda-benda lama sebenarnya juga dilakukan para kolektor. Tapi, kolektor mampu menata dan merawat barang koleksi dengan rapi dan bersih.
Kolektor berusaha mengalokasikan biaya dan waktu untuk bisa menambah koleksi yang nantinya dijual lagi.
Sementara itu, untuk para hoarder tidak begitu. Lalu apa saja ciri-ciri hoarder? Coba simak poin-poin berikut ini.
- Tidak mudah membuang benda-benda yang tidak dibutuhkan lagi.
- Ada perasaan resah ketika membuang suatu barang bekas, bahkan ada rasa jengkel atau marah jika barang bekas miliknya dibuang, dibersihkan, atau diambil oleh orang lain.
- Mudah curiga kalau orang lain terlihat menyentuh sesuatu yang jadi miliknya.
- Sering menambah tumpukan barang yang tidak dibutuhkan, meski tidak tersedia ruang untuk menyimpan di rumah.
- Kesulitan merapikan, mengatur, atau memiliah-milah barang miliknya sendiri.
- Sering menunda-nunda atau menghindar saat diminta menata barang-barangnya.
Baca juga: Mengenal Jade Roller, Alat Perawatan Kulit Wajah dari Batu Giok
Termasuk kebiasaan yang tidak sehat dan memicu konflik di dalam rumah
Barang yang disimpan atau ditimbun seringnya aneh, memalukan, dan tidak layak. Tentu saja tidak memiliki nilai ekonomi lagi di pasaran.
Barang ‘koleksi’ yang tidak lagi bernilai hanya tertimbun sedemikian rupa, memenuhi berbagai sudut rumah, dan menghambat aktivitas penghuninya.
Yang jelas, dampaknya untuk kesehatan juga tidak sepele, karena kondisinya yang kotor dan mungkin menyimpan banyak kuman dan bakteri.
Orang yang terkena dampaknya adalah hoarder sendiri maupun anggota keluarga yang tidak tinggal satu rumah.
Hal seperti ini bisa memicu konflik yang tidak diinginkan di rumah. Apalagi kalau pelaku hoarder sudah berkeluarga dan memiliki anak kecil. Selain konflik dengan pasangan, hal seperti ini bisa mengganggu tumbuh kembang anak.
Terjadi pada beragam usia dan masih bisa disembuhkan dengan bantuan psikiater
Selain trauma masa lalu karena ditinggal orang terdekat, kebiasaan ini juga terkait dengan kondisi yang lebih memprihatinkan karena kesepian.
Ada orang yang masa kecilnya kurang bahagia, gangguan mental, tidak menikah, dan berbagai kegelisahan. Upaya mengumpulkan barang-barang menjadi pelampiasan agar ada sedikit rasa tenang dan merasa tidak sendiri.
Kondisi kelainan seperti ini bisa terjadi pada beragam usia, berawal sejak usia belasan atau usia dewasa muda. Keadaannya bisa semakin susah ditangani ketika mencapai usia paruh baya.
Karena hal ini juga menyangkut kondisi mental yang terganggu, tidak sedikit yang berusaha sembuh dengan mencari bantuan psikiater agar bisa berhenti terobsesi pada timbunan barang-barang.
0 comments