inspirasi
Ideologi Chauvinisme, Sikap Cinta Tanah Air yang Berlebihan
Semua warna negara di dunia sudah semestinya mencintai negaranya sendiri. Bahkan tidak sedikit yang bercita-cita bahwa setidaknya sekali seumur hidup harus menorehkan prestasi yang membanggakan bagi negaranya.
Sejak masih anak-anak pun, nilai-nilai nasionalisme dan cinta tanah air sudah ditanamkan. Meskipun terkesan sangat positif, tapi ternyata jika berlebihan akan menjadi tidak baik seperti contohnya ideologi chauvinisme.
Apa itu ideologi chauvinisme? Pada intinya chauvinisme merupakan kebanggaan kepada identitas nasional secara berlebihan, sampai merasa bahwa bangsanya lebih unggul dibanding yang lain.
Istilah ini dulunya hanya digunakan di dunia politik negara Prancis, tapi seiring berjalannya waktu bisa dikenal di seluruh dunia.
Baca juga: Uniknya Dusun Butuh, Tempat Wisata yang Dijuluki Nepal van Java
Sejarahnya dimulai oleh tentara Prancis yang setia kepada Napoleon BonaparteÂ
Ideologi chauvinisme pertama kali muncul pada tahun 1839. Pencetusnya adalah tentara Napoleon Bonaparte yang bernama Nicolas Chauvin yang tetap setia, meskipun Napoleon Bonaparte kalah perang.
Sebagian sejarawan menyebut bahwa Chauvin adalah bukan nama sebenarnya atau bahkan tentara fiktif.
Dari nama Chauvin itulah istilah chauvinisme dimunculkan oleh orang-orang Prancis. Konsepnya memang mirip dengan sikap Chauvin kepada Napoleon.
Hal lain yang mendasari kepercayaan yang berlebihan adalah juga terkait dengan pemikiran bahwa ras bangsanya lebih tinggi dari yang lain.
Memang ada banyak definisi secara harfiah tentang ideologi chauvinisme, tapi intinya sama yaitu sikap mengagungkan bangsa dan negara sendiri dan merendahkan atau meremehkan bangsa lainnya.
Penganutnya memiliki kesetiaan ekstrem kepada sesuatu, sampai tidak mempertimbangkan adanya alternatif yang lain.
Setelah tahun 1960, istilah chauvinisme juga berlaku pada masalah gender
Memang awalnya ideologi chauvinisme identik dengan politik dan kenegaraan, tapi setelah pertengahan abad ke-20 ada perkembangan makna.
Istilah chauvinisme juga dikaitkan dengan bentuk penilaian agresif kaum pria kepada wanita.
Bukan hanya untuk menunjukkan loyalitas, wujud ikatan, atau komitmen dengan suatu kelompok bangsanya, tapi juga mencakup rasa permusuhan atau pertentangan untuk kelompok lainnya yang dinilai berbeda.
Pemakaian istilah chauvinisme menjadi populer pada tahun 1960-an di kalangan kelompok feminis dengan maksud merujuk ke ‘chauvinisme pria’ yang memiliki pemikiran seksis sekaligus bias gender yang menempatkan wanita sebagai pihak yang diperlakukan tidak adil.
Baca juga: Keunikan Karang Kenek, Dusun Misterius yang Penduduknya Tidak Bisa Bertambah
Ada pergeseran makna chauvinisme pada masa Perang Dunia II
Ideologi chauvinisme yang menyangkut bias gender masih terjadi ketika Perang Dunia II. Saat itu, pembagian tenaga kerja tidak seimbang.
Saat kaum pria meninggalkan tempat tinggal mereka karena harus berperang, maka para wanita bergerak dan berperan penting dalam dunia kerja.
Tapi setelah Perang Dunia II selesai, kaum pria sudah kembali ke tempat tinggal masing-masing dan kembali mencari kerja di tempat-tempat yang sebelumnya ditempati wanita.
Kondisi tersebut pada zamannya sempat menjadi ancaman bagi harga diri kaum pria. Pada era modern saat ini, ideologi chauvinisme sempat bergeser.
Makna dari ‘chauvinisme wanita’ dipahami sebagai kepercayaan bahwa kaum wanita lebih tinggi secara moral daripada kaum laki-laki.
Meskipun cenderung berdampak negatif, tapi ada juga beberapa sisi positifnya
Dari tahun ke tahun mungkin ideologi chauvinisme memang tidak begitu populer, atau lebih tepatnya tidak dipopulerkan oleh negara-negara di dunia.
Karena dipercaya bahwa dampak negatifnya lebih banyak daripada positifnya.
Berbeda dengan nasionalisme yang mencintai negara secara wajar, chauvinisme dinilai bisa merusak kondisi perdamaian dunia dan bisa memicu konflik antarbangsa.
Secara personal, chauvnisme menyebabkan pikiran seseorang kesulitan bersosialisasi dan tidak toleran pada perbedaan.
Sejak awal dicetuskan, ideologi chauvinisme cenderung lebih banyak dipandang negatif karena mengunggulkan negara, bangsa, atau kelompoknya secara berlebihan sampai meremehkan yang lain.
Tapi ternyata ada juga sisi positif pada chauvinisme, misalnya untuk mempersatukan berbagai suku di dalam satu negara untuk bisa bersatu dan taat kepada pemerintah.
Pemerintah pun jadi lebih mudah untuk menentukan peraturan di negaranya.
0 comments