inspirasi
Legenda di Balik Huruf Hanacaraka, Ajarkan Manusia Patuhi Sang Pencipta
Saat berkomunikasi sehari-hari, kita menggunakan aksara latin yang memang biasa digunakan di Indonesia bahkan dunia.
Namun ternyata Indonesia memiliki jenis aksaranya sendiri. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya bahkan mencapai 12 aksara.
Mulai dari aksara Jawa, Bali, Sunda Kuno, Bugis, Rejang, Lampung, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing dan Kerinci.
Aksara Jawa dan beberapa aksara lainnya merupakan keturunan dari aksara Pallawa yang kerap digunakan pada abad ke-4 Masehi.
Aksara Jawa ini kerap disebut sebagai “Hanacaraka” dan memiliki kemiripan dengan aksara Sunda dan Bali.
Aksara Jawa juga merupakan variasi modern dari aksara Kawi yang merupakan perkembangan aksara Pallawa.
Ternyata aksara Jawa atau yang kerap disebut Hanacaraka ini memiliki asal usulnya tersendiri, yakni berkaitan dengan legenda Aji Saka.
Baca juga: Aneh Tapi Nyata, Deretan 10 Fetish Ini Benar-benar Ada
Legenda Aji Saka
Konon menurut legenda, aksara Hanacaraka diciptakan oleh Aji Saka, pemuda sakti yang mengembara ke Kerajaan Medhangkemulan.
Saat itu Medhangkemulan diperintah oleh seorang raja bernama Dewata Cengkar yang gemar memakan daging manusia.
Tak heran jika rakyatnya sangat takut pada Dewata Cengkar. Kepergian Aji Saka ke Medhangkemulan untuk menghentikan kebiasaan sang raja.
Aji Saka memiliki dua pengikut setia bernama Dora dan Sembada. Dora diajak serta ke Medhangkemulan sedangkan Sembada tetap tinggal di Pulau Majethi dan menjaga keris pusaka Aji Saka agar tak jatuh ke tangan orang lain.
Tanpa menunggu waktu lama, Aji Saka langsung menghadap sang raja ketika sampai di Medhangkemulan.
Ia pun meminta sebidang tanah seukuran sorban yang dikenakannya. Raja pun menyanggupi lantaran sebidang tanah itu akan digantikan oleh Aji Saka yang berjanji akan menjadi santapan sang raja.
Ketika sorban dibuka, kain itu ternyata sangat luas dan makin luas hingga membuat Dewata Cengkar mundur dan terjatuh dari jurang pantai selatan. Sejak saat itulah Aji Saka diangkat menjadi raja di Medhangkemulan.
Ingat dengan keris pusaka yang ditinggalkannya di Pulau Majethi, Aji Saka mengutus Dora untuk mengambilnya dari Sembada.
Ketika berada di Pulau Majethi, ternyata Sembada tak sudi memberikan keris itu kepada orang lain selain Aji Saka. Terjadilah pertempuran dan kedua abdi setia Aji Saka pun tewas.
Sedih karena dua abdinya tewas, Aji Saka menyesali apa yang telah dilakukannya. Ia pun melantunkan pantun Hanacaraka.
Makna filosofis Hanacaraka
Aksara Hanacaraka sendiri membentuk puisi empat bait yang menceritakan pertarungan Dora dan Sembada hingga gugur. Isi puisinya sebagai berikut:
Hanacaraka artinya terdapat dua utusan
Datasawala artinya mereka berbeda pendapat
Padhajayanya, artinya mereka berdua sama kuatnya
Magabathanga, artinya inilah mayat mereka
Isi puisi tersebut memiliki makna bahwa utusan atau manusia wajib menaati perintah tuannya atau dalam Tuhan yang menciptakan. Manusia harus melaksanakan dan menerima kehendak Tuhan.
Baca juga: Inilah Penemu Telepon yang Sebenarny, Bukan Alexander Graham Bell
Perbedaan aksara Jawa dan Bali
Hanacaraka adalah keturunan aksara Brahmi yang berasal dari India. Aksara Hanacaraka juga merupakan hasil modifikasi dari aksara Jawa Kuno (Kawi) dan Kawi merupakan aksara yang berasal dari aksara Pallawa.
Hanacaraka digunakan untuk penulisan naskah berbagai bahasa, seperti Jawa, Madura, Sunda, Bali dan Sasak.
Dalam Hanacaraka Jawa terdiri dari 20 huruf dasar yang membentuk puisi:
ha na ca ra ka
da ta sa wa la
pa dha ja ya nya
ma ga ba tha nga
Selain itu, dalam aksara Jawa juga terdapat 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf utama (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, dan 5 aksara swara (huruf vokal depan).
Ada pula 5 aksara rekan (untuk menulis kata-kata asing), beberapa sandangan sebagai pengatur vokal, beberapa tanda baca dan beberapa huruf khusus.
Zaman dulu aksara Jawa kerap digunakan untuk menulis cerita, primbon, tembang, dan sejarah. Media untuk tulis menulisnya menggunakan daun lontar hingga kertas berilustrasi.
Sedangkan untuk aksara Bali perbedaannya hanya pada jumlah dan lekukan hurufnya. Aksara Bali berjumlah 47 karakter, 14 huruf vokal dan 33 huruf konsonan (aksara wianjana). Namun yang kerap digunakan hanya 18 huruf:
ha na ca ra ka
da ta sa wa la
pa ja ya nya
ma ga ba nga
Mirip dengan aksara Jawa namun tidak menggunakan dha dan tha. Kemiripan ini karena pengaruh kerajaan-kerajaan Jawa yang meluaskan kekuasaannya ke Pulau Bali.
Aksara Bali digunakan dalam literatur Sanskerta dan Kawi dalam peribadatan umat Hindu Bali.
0 comments