inspirasi
Ibnu Batutah, Penjelajah Terhebat Sepanjang Masa yang Pernah Singgah di Aceh
Saat membahas tentang tokoh yang terkenal karena sudah mengelilingi dunia, nama Ibnu Batutah menjadi yang pertama disebut.
Di antara sekian banyak tokoh yang juga mengembara ke berbagai tempat di dunia, Ibnu Batutah merupakan yang paling tangguh.
Bahkan menurut para sejarawan, jarak tempuh perjalanannya melebihi pencapaian para penjelajah dari Eropa, seperti Vasco da Gama, Ferdinand Magellan, dan Christopher Columbus yang memulai penjelajahannya sesudah zamannya Ibnu Batutta.
Seperti apa riwayat perjalanan sosok penjelajah dunia yang satu ini?
Baca juga: Simo Hayha, Petani yang Jadi Sniper Finlandia Paling Mematikan
Ibnu Batutah menjadi pelopor penjelajah dunia sejak abad 14 M
Ibnu Batutah yang disebut-sebut sebagai ‘Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa’ memiliki nama lengkap Abu ‘Abdallah Muhammad Ibn’ Abdallah ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Lawati.
Ia dilahirkan tanggal 25 Februari 1304 dari keluarga Suku Berber atau dikenal dengan Suku Lawata yang terletak di Negeri Matahari Terbenam atau Maroko.
Tumbuh di kota Tangier, bagian utara Maroko, di tengah keluarga berpendidikan hukum.
Di sepanjang hidupnya menjelajah dunia sepanjang 29 tahun. Ia menjelajahi daratan dan mengarungi lautan, juga melintasi sekitar 44 negara di dunia. Total jarak perjalanannya mencapai sejauh 120.000 km.
Namanya dikenal sebagai seorang pengembara Muslim yang disebut-sebut merupakan pelopor penjelajah dunia sejak abad 14 M.
Catatan perjalanan Ibnu Batutah jadi karya yang abadi
Catatan dari pengembaraannya diabadikan dalam sebuah karya sastra abadi yang berjudul Tuhfat al-Nuzzhar fi Ghara’ib al-Amshar wa ’Aja’ib al-Asfar atau Persembahan untuk Mereka yang Merenungkan Keajaiban Kota serta Keajaiban Perjalanan yang Mengagumkan.
Karya tersebut di kemudian hari menjadi sebuah panutan untuk para pengembara di dunia.
Disusun secara mendalam, catatannya juga mengaitkan tempat dengan berbagai peristiwa, waktu, dan catatan penting yang berisi tentang peristiwa yang dialami olehnya selama menjelajah.
Baca juga: Tak Hanya Suriname, Jejak Orang Jawa Juga Ada di Kaledonia Baru
Penjelajahannya berawal dari keinginan untuk pergi ke tanah suci
Seperti yang dikisahkan dalam memoir perjalanannya, Ibnu Batutah muda sangat ingin berziarah ke Makkah.
Saat usianya 21 tahun, bermodalkan keberanian dan bekal secukupnya, ia minta izin pada kedua orang tua untuk meninggalkan rumah dan berkelana ke tempat-tempat jauh di dunia.
Tercatat keberangkatannya pertama kali ke tanah suci pada tanggal 14 Juni 1325. Ia datang di pelabuhan Aljir, Aljazair, bersama dengan pedagang Tunisia (dulu masih bernama Ifriqiya).
Begitu tujuannya untuk ke tanah suci tercapai, setelahnya ia menuju ke Baghdad. Tujuannya bukan menyangkut religi lagi, tapi lebih ke petualangan yang membawanya menjelajah dunia.
Menurut Ross E. Dunn, sejarawan dari Universitas San Diego State, Ibnu Battuta awalnya adalah seorang musafir kesepian yang berhasrat mengunjungi tempat-tempat suci yang semarak.
Berbekal ilmu yang dipelajarinya di tanah kelahiran serta pengalamannya bertemu banyak orang, membuatnya cukup mudah untuk mendapat banyak teman dalam setiap petualangannya.
Tidak hanya menjadi penjelajah, ia juga berkelana sambil mengembangkan ilmu. Di banyak tempat, ia menjadi penasihat kepercayaan penguasa. Ia pun sempat jadi pejabat keagamaan atau utusan penguasa ke penguasa lain.
Penjelajahannya sampai di Sumatra
Setelah 25 hari berlayar, Ibnu Batutah sampai di Sumatra, tepatnya di pelabuhan Kerajaan Samudra Pasai Aceh. Ada juga kesaksiannya yang tertuang dalam dalam Tuhfat al-Nuzzhar fi Ghara’ib al-Amshar wa ’Aja’ib al-Asfar.
Saat sampai di pelabuhan, masyarakat setempat menyambut berserta rombongan dengan ramah. Ibnu Batutah dengan begitu indah melukiskan kerajaan Samudera Pasai.
“Setelah berlayar dua puluh lima hari, kami mencapai Pulau al-Jawa. Itu pulau dari mana kemenyan Jawa mendapatkan namanya. Kami melihat pulau itu dari jarak yang jauhnya setengah hari berlayar. Pohonnya banyak. Itu termasuk kelapa, palem, cengkeh, gaharu, papaya, jeruk manis, dan kapur barus”.
Bahkan konon ia sudah mengenal Sumatra sejak masih berada di Calicut, India. Disebutkan bahwa ia menyebut Sumatra adalah al-Jawa.
Setelah menjelajah cukup lama ke berbagai penjuru dunia, ia kembali ke kota kelahirannya pada 1355. Ia akhirnya benar-benar pulang kampung dan menetap.
0 comments