inspirasi
Awalnya Dikenal Religius, Beginilah Sosok DN Aidit Hingga Jadi Petinggi PKI
Nama DN Aidit tidak dapat lepas dari keberadaan PKI (Partai Komunis Indonesia). Sosoknya yang konon dikenal cerdas sejak kecil, menjadi dalang pemberontakan PKI sejak di Madiun tahun 1948. Yang paling membekas adalah tahun 1965 pada peristiwa G30S/PKI.
Saat lahir di Belitung, 30 Juli 1923, namanya adalah Achmad Aidit. Teman-temannya memanggil Amat. Lingkungan agamis tempatnya tumbuh sejak kecil dan pendidikan Belanda di kemudian hari membentuk karakter dan pemikirannya.
Saat merantau di Batavia, keterlibatannya sebagai petinggi PKI mengubah jalan hidup dan keluarganya.
Baca juga: Asal Usul Sumur Lubang Buaya, Lokasi Tempat Pembuangan Korban G30S/PKI
Keluarganya religius dan sejak kecil sudah pandai mengaji
Jauh sebelum mengenal berbagai macam ideologi, keluarganya mendidik dengan cara yang islami. Latar belakangnya berasal dari keluarga berpendidikan dan terpandang.
Sang kakek, dari pihak ayah dan ibu, adalah pengusaha sukses, sudah naik haji, dan kaya raya.
Sobron Aidit, adik tirinya di kemudian hari mengenang masa kecil dalam buku memoar Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru di Masa Pergolakan (2003), bahwa ia sudah khatam Alquran sejak kecil.
Memang bertolak belakang dengan pandangan dunia terhadapnya, di lingkungan terdekat di kampung, ia memang dikenal sebagai sosok anak masjid yang alim dan tentu saja pandai mengaji.
Ia bahkan juga sering mengumandangkan azan karena suaranya yang lantang serta pelafalannya bagus.
DN Aidit hobi membaca buku Karl Max membentuk pemikirannya tentang politik
Sejak sekolah di Belitung, ia dapat menyalurkan hobi membaca dan berolahraga. Ratusan buku perpustakaan di sekolahnya sudah ia tamatkan.
Di usia belasan ia sering diajak sang ayah yang bekerja sebagai polisi kehutanan. Di pos peristirahatan pada puncak gunung ia sempatkan membaca.
Yang paling berkesan baginya adalah buku dari Karl Marx yang legendaris berjudul Das Kapital.
Memang kemampuan belajarnya sangat cepat, ia juga dapat menguasai bahasa asing khususnya Belanda. Dengan kemampuan bahasanya itu, ia lebih mudah belajar tentang ideologi dunia.
Merantau ke Batavia dan mengganti nama menjadi ‘lebih Indonesia’
Saat beranjak dewasa, masa perantauannya ke Batavia dimulai. Kecerdasan dan kemampuannya bergaul membawanya menjadai anak emas seorang Mohammad Hatta.
Beberapa orang dalam lingkaran pertemanannya adalah tokoh nasional seperti Sukarno, Chaerul Saleh, Wikana, dan masih banyak lagi. Setelah aktif di pergerakan di Batavia, ia memilih mengganti nama jadi Dipa Nusantara (DN) Aidit.
Pihak keluarga awalnya sedikit keberatan soal nama barunya. Nama aslinya sudah terlanjur terdaftar untuk segala macam keperluan administrasi, jadi khawatir akan jadi repot kalau harus mengurus nama baru.
Akan tetapi namanya tetap pada akhirnya diganti dan berhasil diresmikan, lingkungan kolonial telah menggemblengnya jadi sosok nasionalis. Hal itu menjadi alasannya ingin ganti nama depan menjadi ‘lebih Indonesia’.
Baca juga: Uniknya Giethoorn, Desa Terbersih di Dunia yang Bebas Polusi
Mulai memimpin PKI dan tidak mencampurkan agama dengan politik
Terinspirasi dari Karl Max, ia terpanggil saat melihat kerasnya perjuangan para buruh yang berlumur lumpur dan mandi keringat. Sementara meneer Belanda bermewah-mewahan.
Gabungan dari bacaan, pergaulan, dan interaksi dengan buruh mengubah jalan pikir dan pandangan politiknya.
Dengan kemampuan diplomasi yang baik saat memimpin PKI, ia dapat membawa PKI jadi partai komunis yang terbesar ketiga di dunia setelah Uni Sovyet dan China.
Ada semacam upaya untuk menjadikan PKI lebih diterima masyarakat dengan sikapnya yang tidak mencampurkan agama dengan politik.
Banyak anggota beragama Islam yang kemudian suka rela mengikuti. Hal itu tak lepas dari didikan masa kecilnya yang sangat agamis.
Program PKI pada awalnya cenderung diterima masyarakat, misalnya Barisan Tani Indonesia, Pemuda Rakyat, Gerwani, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat.
Peristiwa G30S/PKI juga mengubah kehidupan keluarganya
Sampai pada peristiwa berdarah pada malam 30 September 1965, sejak saat itu semuanya berubah. Sebagai dalang intelektual, tentara memburu DN Aidit untuk diadili dan dieksekusi.
Peristiwa tragis G30S/PKI juga berpengaruh ke keluarga besarnya di Belitung. Ia masih menjadi buronan tentara beberapa bulan setelah 30 September hingga akhir November.
Tentara berhasil mengeksekusi mati tapi merahasiakan di mana jasadnya kemudian. Sementara sang ayah yang sudah tua kaget dengan kejadian itu, memikirkan anak-cucu yang tercerai-berai, kemungkinan ditangkap, hingga diasingkan, atau melarikan diri ke luar negeri.
Sang ayah sakit-sakitan sampai meninggal tiga tahun kemudian. Bahkan tiga hari jenazahnya tergolek tanpa ada yang berani mengurus hanya karena keterlibatan salah satu anggota keluarga di PKI.
0 comments