kuliner
Filosofi Nasi Tumpeng, Hidangan Sakral dalam Setiap Syukuran
Masyarakat Indonesia memiliki banyak tradisi yang mengakar dari nenek moyang, salah satunya adalah syukuran.
Tradisi syukuran dilakukan sebagai lambang kebahagiaan serta ucapan terima kasih atas kebahagiaan yang didapat.
Dalam setiap syukuran di Jawa, ada satu sajian yang wajib hadir yaitu nasi tumpeng. Sajian wajib saat syukuran ini memiliki rasa yang lezat dan tampilan yang menarik.
Ternyata di balik bentuknya yang unik, ada makna filosofis yang luhur. Dari mulai nama, bentuk, alat memasak, serta lauk pauk yang dihidangkan memiliki filosofi di baliknya.
Baca juga: 5 Fakta tentang Mukbang, Tren Makan Besar ala Korea Selatan
Ada filosofi yang bernilai spiritual di balik nama tumpeng
Masyarakat Jawa sudah mengenal nasi tumpeng sejak masih menganut kepercayaan Kapitayan. Di dalam kepercayaan ini, mereka sudah mempercayai akan eksistensi Tuhan.
Oleh karena itu, awalnya tumpeng dibuat sebagai pemusatan pada kekuatan ilahiah.
Secara etimologi, kata tumpeng berasal dari akronim kalimat yen metu kudu mempeng, yang memiliki makna ‘saat keluar harus memiliki semangat yang sungguh-sungguh’.
Dengan kata lain, nasi tumpeng melambangkan masyarakat Jawa yang memiliki semangat dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.
Bentuk kerucut yang menjadi ciri khasnya juga dianggap sakral
Tumpeng memiliki bentuk kerucut yang menjadi ciri khasnya. Di balik bentuk khas ini, terdapat makna filosofis yang sangat sakral.
Konon, bentuk kerucut tersebut diambil dari bentuk gunung yang disakralkan oleh masyarakat Jawa.
Mereka percaya bahwa arwah leluhur dan para dewa bersemayam di gunung-gunung yang menjulang tinggi.
Oleh karena itu, nasi tumpeng dapat diartikan sebagai perantara yang merawat hubungan antara manusia, alam semesta, dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Makna lainnya dari bentuk kerucut ini adalah sebagai doa serta harapan agar hidup manusia semakin menjulang tinggi atau sejahtera.
Bukan hanya nama dan bentuk, alat untuk memasaknya juga memiliki filosofi
Selain nama dan bentuk, ternyata alat-alat masak yang digunakan untuk membuat nasi tumpeng juga mempunyai makna filosofi tersendiri. Misalnya tungku untuk memasak.
Tungku yang terbuat dari air, batu bata, api dan asap dapat diartikan sebagai simbol yang mewakili udara. Kemudian diketahui tidak sembarangan orang dapat memasak nasi tumpeng ini.
Perempuan yang sedang mengalami menstruasi atau haid tidak diperbolehkan memasak nasi tumpeng.
Karena itu biasanya yang diperbolehkan memasak nasi tumpeng adalah perempuan yang sudah masuk masa menopause dan berada dalam keadaan yang bersih serta suci.
Baca juga: Perbedaan Matcha dan Green Tea, Variasi Minuman Teh Hijau
Bahkan di balik lauk pauk yang disajikan juga ada maknanya
Seperti yang sering kita temui, dalam sajian nasi tumpeng biasanya terdapat berbagai macam lauk pauk. Lauk pauk ini disebarkan mengelilingi nasi tumpeng lalu dihidangkan kepada banyak orang.
Konon, tidak sembarang lauk pauk dapat disajikan bersamaan dengan nasi tumpeng karena setiap lauk memiliki makna filosofis.
Contohnya urap dan telur rebus. Urap dalam nasi tumpeng ini terdiri dari bermacam-macam jenis sayuran.
Ada tauge yang melambangkan proses pertumbuhan secara terus-menerus seorang manusia. Ada juga kacang panjang yang melambangkan pemikiran yang jauh ke depan.
Lalu telur rebus yang dipercaya melambangkan kepentingan memiliki etos kerja serta perencanaan matam untuk setiap tindakan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap bagiannya memiliki nilai estetika, dan tidak sekadar hiasan saja
Ada juga cabai merah diukir sedemikian rupa sehingga menyerupai bunga.
Cabai ini bukan sekadar hiasan untuk menambah keindahan, melainkan berfungsi juga sebagai lambang penerangan yang bermanfaat bagi orang lain.
Selanjutnya ada ikan teri yang dipercaya menjadi simbol kebersamaan dan kerukunan. Terakhir ada ayam, biasanya ayam yang digunakan adalah ayam jantan atau ayam jago.
Pemilihan ayam jenis ini ternyata dimaksudkan untuk menghindari sifat-sifat yang menyerupai ayam jago, seperti congkak, selalu menyela saat berbicara, merasa benar sendiri, dan sombong.
Itulah filosofi tumpeng yang ternyata memiliki banyak nilai luhur. Setiap bagiannya memiliki estetika sendiri dan bukan sekadar hiasan. Apakah di daerahmu terbiasa menghidangkannya juga saat syukuran?
0 comments