inspirasi
Keunikan Seni Liping, Miniatur Kehidupan Jawa Masa Lalu
Seni adalah bentuk perwujuan dari imajinasi maupun ekspresi seseorang yang dituangkan ke dalam berbagai macam media. Salah satu contohnya adalah patung yang terkenal karena memiliki nilai seni tinggi.
Masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, dengan kreativitas yang tinggi mengadopsi kesenian yang juga bernilai seni tinggi, yaitu Seni Liping dan menggabungkannya dengan kehidupan masyarakat Jawa.
Kata Liping ini diambil dari bahasa inggris living, yang bermakna menjalani kehidupan.
Beberapa kehidupan masyarakat Jawa yang diadopsi ke dalam seni Liping adalah menimba air, menggembala bebek, menumbuk padi, membajak sawah, sampai dengna kerokan.
Baca juga: Suku Baduy Banten, Merawat Alam sekaligus Wasiat Leluhur
Proses Pembuatan Seni Liping menggunakan beberapa bahan
Karya seni dari Jawa ini terbuat dari kombinasi beberapa bahan, yaitu kayu pinus, beras, tapioka, dan lem.
Pertama-tama, kayu pinus akan dipahat sehingga menyerupai karakter tertentu yang diinginkan. Kemudian direkatkan menggunakan campuran dari tapioka, lem, dan beras.
Setelah direkatkan, lalu ditambahkan pakaian juga aksesoris yang sesuai dengan karakternya sehingga mirip dengan aslinya. Hebatnya, para pengrajinnya tidak menggunakan cetakan dalam proses pembuatannya.
Oleh karena itu, hasilnya akan berbeda-beda untuk setiap pengrajin. Biasanya, proses pembuatannya membutuhkan waktu selama 1 jam untuk membuat karakter berukuran 7×7 cm dengan tinggi 10 cm.
Kesenian Liping sangat erat dengan kehidupan masyarakat
Bejo Wage Suu, pengrajin asal Sukoharjo adalah sosok yang sukses mempopulerkan seni liping dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Berkat usahanya, kehidupan masyarakat Jawa yang penuh dengan filosofi tinggi dapat bertahan dan mengikui perkembangan zaman.
Bejo, mengukir kegiatan masyarakat sehari-hari seperti menimba air dari sumur, menumbuk padi, maupun yang lainnya ke dalam miniatur kecil dan mengenalkannya ke kancah internasional.
Karya dari Bejo dikenal dengan nama seni liping Jopajapu Indonesia.
Bejo biasanya membuat miniatur manusia jawa yang memiliki ciri khas tertentu. Misalnya untuk sosok perempuan memakai kain batik sebatas dada, dan laki-laki memakai celana hitam selutut, lengkap dengan rompi dan kainnya.
Di bagian kepala, dia menambahkan kain penutup kepala atau dikenal sebagai Iket. Karena ciri khas ini, seni Liping semakin menjadi menarik dan unik.
Baca juga: Apa Itu Sempoa, Alat Hitung yang Tertua di Dunia
Sejarah Penciptaan Seni Liping karena terdorong oleh kegelisahan
Bejo yang memiliki nama asli Mulyono ini mulanya bekerja sebagai pekerja bengkel. Kemudian darah seni yang mengalir dalam dirinya memotivasi Bejo untuk terus berkarya.
Didorong oleh kegelisahannya melihat budaya masyarakat Jawa yang perlahan menghilang dan kurang dikenal, ia mendapatkan ide untuk mengabadikannya dalam bentuk kesenian yang hidup dan bercerita.
Berbekal pengalaman belajar ukir secara otodidak yang dia miliki, Bejo menciptakan karya seni yang memiliki bentuk siluet sosok manusia modern sedang beraktivitas, seperti membatik dan bermain gitar.
Bahan yang digunakan pertama kali juga lebih sederhana, dia menggunakan stik es krim bekas lalu kemudian mencoba berbagai macam kayu dan menemukan kayu pinus yang lebih ringah, murah, dan memiliki serat yang bagus.
Sejak saat itu, Kayu Pinus terus digunakan menjadi bahan bakunya. Sebelum berbentuk seperti sekarang, karya seni ini sempat mengalami perubahan bentuk sebanyak tiga kali.
Keunikan Seni Liping dan penghargaan di baliknya
Sejak jaman dulu, banyak seniman melahirkan karya yang mirip dengan Seni Liping ,namun dengan bahan yang berbeda, mulai dari tembaga, kayu, maupun lilin.
Meski begitu, karya seni ini tetap memiliki keistimewaannya sendiri karena bentuknya yang kecil dan tetap memperlihatkan detil karakter, ekspresi, warna tokoh orang Jawa.
Dengan kata lain, Seni Liping terkesan lebih hidup dan bercerita.
Bejo Wage Suu, sang pencipta pernah menerima berbagai macam penghargaan di antaranya adalah Penghargaan Sayembara Suvenir Nasional tahun 2006 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Merit Prize dalam Inacraft Award pada tahun 2009 untuk seperangkat Liping Catur Baratayuda.
TIDak cukup sampai di situ saja, Seni Liping juga berhasil mencapai pasar internasional di antaranya HawaiI, Belanda, Meksiko, dan Jepang.
0 comments