inspirasi
Mengenal RMP Sosrokartono, Kakak RA Kartini yang Jenius Menguasai 35 Bahasa
Nama RA. Kartini tentunya tidak asing lagi bagi orang Indonesia. Tapi bagaimana dengan orang-orang terdekatnya? Meski tidak banyak diangkat dalam sejarah, tapi juga punya kehebatan tersendiri.
Seperti misalnya Raden Mas Panji (RMP) Sosrokartono, kakak kandung RA. Kartini yang merupakan polyglot pertama di Indonesia.
Sebagai seorang polyglot dan jenius, RMP Sosrokartono menguasai 35 bahasa dan sempat menjadi wartawan Perang Dunia I, juru bahasa di Liga Bangsa-Bangsa, atase kebudayaan Kedutaan Besar, dan sejumlah peran penting yang dijalaninya di Eropa.
Baca juga: Kaghati Kolope, Layang-layang Tradisional Tertua di Dunia dari Sulawesi Selatan
RMP Sosrokartono mampu mengenyam pendidikan yang setara dengan orang Belanda
Dari buku biografi Bunga Rampai: Sikap Hidup Drs RMP Sosrokartono yang ditulis oleh Moesseno Kartono, ada 10 bahasa daerah Indonesia dan 26 bahasa asing yang dikuasai RMP Sosrokartono.
Ia memang terkenal cerdas dan mampu mengenyam pendidikan yang setara dengan orang Belanda waktu itu.
Lulus dari SD Eropesche Lagere School, Jepara, ia lanjut ke Hogere Burgerschool Semarang untuk sekolah menengah. Setelah itu takdir membawanya ke Belanda.
Pada tahun 1898, ia jadi orang Jawa pertama yang bisa kuliah ke Belanda. Awalnya ia disarankan untuk belajar teknik di Polytechnische School te Delft.
Alasannya adalah agar ia bisa membantu memberi solusi krisis air yang diprediksi mengancam wilayah Jepara
Mencoba patuh pada anjuran orang tua, akhirnya ia tetap mengikuti kata hati untuk belajar sastra di Universitas Leiden.
Sejak sekolah di Semarang, sangat menonjol di bidang sastra dan bahasa
Sejak masih sekolah di Kota Semarang, ia sangat menonjol di bidang sastra dan bahasa.
Ia dengan cepat menguasai bahasa Belanda dan juga beberapa bahasa asing lain. Bahkan ujian akhirnya dituntaskan dengan uraian berbahasa Jerman.
Setelah lulus sarjana pada tahun 1908, ia tidak langsung pulang ke tanah air. Kemampuan bahasanya meningkat karena sempat berkelana di Eropa.
Namanya pun tercantum menjadi redaktur media Bintang Timoer di Belanda pada tahun 1903 yang dipimpin Abdul Rivai.
Meski di tanah air saat itu mulai tumbuh nasionalisme yang menguat di kalangan pemuda, ia punya alasan sendiri mengapa masih bertahan di Eropa.
Di Belanda ia juga tergabung di Indische Vereeniging, organisasi pemuda Indonesia di Belanda yang didirikan juga pada tahun 1908.
Namanya terdapat pada redaksi penyusun buku dari Indische Vereeniging untuk Boedi Oetomo.
Ada kemungkinan bahwa ia secara tak langsung turut memprakarsai berdirinya perhimpunan Boedi Oetomo.
Baca juga: Lintang Kemukus, Fenomena Bintang Berekor yang Dikaitkan dengan Pertanda Bencana
Sempat menjadi wartawan media Amerika yang meliput Perang Dunia I
Saat Perang Dunia I memanas tahun 1914, ia mendaftar jadi wartawan perang untuk media ternama Amerika, The New York Herald Tribune.
Sebelum menjadi wartawan perang ia sempat diuji untuk menerjemahkan artikel berbahasa Inggris, Rusia, dan Prancis.
Ia termasuk sukses menjalankan tugasnya yang berisiko. Dalam liputan ia diberi izin menyusup ke pasukan sekutu dengan pangkat mayor agar bisa bergerak leluasa.
Tapi ia tak bersedia memegang senjata agar tidak perlu menyerang atau diserang.
Salah satu liputannya yang menantang ialah tentang perundingan Jerman dan Prancis yang dilakukan secara rahasia di gerbong kereta dalam hutan pelosok Prancis yang diberi penjagaan ketat.
Seperti yang dimuat dalam Memoir (1979) dari Mohammad Hatta, saat itu gaji wartawan sangat besar dan sangat cukup untuk hidup mewah di Eropa.
Berjaya di Eropa, tapi kurang beruntung di negeri sendiri
Kemampuannya berkomunikasi dengan banyak bahasa dan didukung dengan penampilan menarik membuka peluang baru.
Begitu perang dunia sudah selesai, ia sempat jadi juru bahasa atau penerjemah untuk Blok Sekutu dan Liga Bangsa-Bansa (Volken Bond).
Pada tahun 1921, ia menjabat sebagai atase kebudayaan di Kedutaan Besar Perancis di Den Haag.
Sudah terlalu lama mengumpulkan pengalaman di Eropa, ia pun terpanggil untuk pulang ke tanah air.
Akan tetapi siapa sangka kalau kepulangannya ke tanah air justru menjadi sandungan baginya.
Tidak sedikit petinggi kolonial Belanda yang curiga dengannya. Karena kecerdasan dan pengalamannya, ia dianggap berbahaya. Selain dicap terlampau idealis ia juga difitnah sebagai komunis.
Karena tekanan bertubi-tubi, ia jatuh sakit dalam waktu cukup lama. Banyak yang menyayangkan keputusannya kembali ke Indonesia, jika ternyata tidak ada tempat yang layak di negeri sendiri.
Meski nasibnya di negeri sendiri dipandang tidak begitu beruntung, tapi ia punya pemikiran lain. Seperti terlihat pada kata-kata mutiara di batu nisannya.
âSugih tanpa bandha. Digdaya tanpa aji. Ngalurug tanpa bala. Menang tanpa ngasorake.â
Kalau dalam bahasa Indonesia kalimat tersebut berarti kaya tanpa harta benda, sakti tanpa benda pusaka, menyerang tanpa bala tentara, menang tanpa meremehkan atau merendahkan yang lain.
0 comments