inspirasi
Sejarah Suku Asmat, Dianggap Titisan Dewa di Tanah Papua
Papua di ujung timur Indonesia terkenal dengan kekayaan alam dan budayanya. Tidak heran jika di sana banyak suku asli yang menjaga nilai-nilai luhur dari nenek moyang.
Salah satu suku terbesar di Papua, yaitu Suku Asmat yang terkenal dengan kearifan lokalnya.
Suku Asmat yang banyak tinggal di pesisir dan pedalaman Papua masih satu rumpun dengan suku asli Selandia Baru dan Papua Nugini.
Uniknya, sejarahnya dikaitkan dengan sebuah legenda. Bahkan suku ini dianggap sebagai titisan dewa. Simak ulasan sejarah Suku Asmat di bawah ini.
Baca juga: Keunikan Victoria Amazonica, Teratai Raksasa Bisa Tahan Beban 50 kg
Populasinya tidak begitu besar dan daerahnya banyak yang berawa-rawa
Penduduknya tinggal di kabupaten Asmat yang memiliki 7 kecamatan.
Meskipun hanya sedikit kecamatannya, tapi jarak antar kampung atau kampung dengan kecamatan termasuk jauh. Jika ditempuh jalan kaki, perjalanannya bisa sampai 1-2 hari.
Wilayahnya memang berawa-rawa dan paling mudah dilewati dengan memakai perahu atau jalan kaki. Populasi dari Suku Asmat juga tidak begitu besar. Penduduknya yang tinggal di satu kampung hanyalah ratusan orang.
Masyarakatnya menghuni rumah keluarga. Tapi, rumah keluarga di sini bukan satu rumah untuk satu keluarga, melainkan rumah yang ditinggali oleh beberapa keluarga.
Yang tinggal di dalamnya ada 2-3 keluarga dengan dapur dan pintu masing-masing.
Dalam sistem kehidupannya sehari-hari, masyarakatnya memiliki dua jenis kepemimpinan yakni pemimpin formal dari pemerintah dan pemimpin adat dari tokoh masyarakat.
Terbagi menjadi penduduk yang tinggal di pesisir dan pedalaman
Sejarahnya ternyata masih satu rumpun dengan suku asli Papua Nugini dan Selandia baru yang berasal dari Polinesia. Dari segi fisik, rata-rata memiliki tinggi 172 cm untuk laki-kai dan 162 cm untuk perempuan.
Kulitnya cenderung hitam dan rambutnya keriting seperti keturunan rumpun Polinesia lainnya. Wilayah persebarannya dimulai di pesisir Laut Arafuru sampai pegunungan Jayawijaya.
Menurut tempat tinggalnya, Suku Asmat dibagi menjadi dua kelompok, yakni yang tinggal di pesisir dan yang tinggal di pedalaman. Suku Asmat yang bertempat tinggal di daerah pesisir kebanyakan punya mata pencaharian nelayan.
Sementara itu, yang ada di pedalaman kebanyakan mata pencahariannya sebagai pemburu dan juga petani perkebunan.
Perbedaan antara keduanya disebabkan oleh keadaan wilayah dan juga pengaruh orang pendatang yang cenderung lebih terbuka dengan pengaruh luar.
Baca juga: Baju Bodo Sulawesi Selatan, Pakaian Adat Tertua di Dunia
Ada kisah legenda Dewa Fumeripitsy yang turun ke dunia dan terdampar di Asmat
Keberadaannya juga terkait dengan legenda. Pada zaman dulu, ada satu sosok Dewa yang bernama Fumeripitsy yang turun ke dunia kemudian menjelajah dari ufuk barat tempat matahari terbenam.
Di tengah petualangannya, Dewa Fumeripitsy harus menghadapi seekor buaya besar dan mengalahkannya. Meskipun menang, ia luka parah sampai terdampar di tepi sungai.
Masih merasa sakit, ia pun berusaha untuk bertahan sampai akhirnya bertemu burung Flamingo yang baik hati dan mau merawatnya hingga pulih dari lukanya.
Setelah sembuh, ia menetap, Â membuat rumah, dan mengukir dua patung yang indah.
Bukan hanya patung, ia juga membuat genderang yang nyaring untuk mengiringi saat ia menari.
Konon gerakannya yang dahsyat dan sangat menjiwai, membuat dua patungnya menjadi hidup. Bahkan kedua patung ikut menari mengikuti gerakannya.
Nilai-nilai sejarahnya masih terjaga sampai sekarang
Menurut kisah legenda turun temurun, kedua patung yang menjadi hidup adalah pasangan manusia yang jadi nenek moyangnya.
Sejarahnya yang dianggap sebagai titisan Sang Dewa memang cerita legenda semata, tapi hal tersebut menjadi bagian dari kekayaan budaya tradisionalnya.
Sampai sekarang Suku Asmat dikenal dengan seni dan tradisinya, khususnya dalam hal membuat ukiran. Hasil ukirannya diakui secara internasional.
Jenis ukirannya beragam, tapi pada umumnya karya yang dihasilkan menceritakan tentang sesuatu, misalnya sejarah leluhur, peristiwa sehari-hari, dan kecintaan pada alam.
Kehidupan masyarakatnya masih belum banyak dipengaruh kehidupan modern. Itulah mengapa, nilai-nilai sejarahnya masih terjaga sampai sekarang.
0 comments