inspirasi
Suku Sakai Riau, Hidup Nomaden dan Berdampingan dengan Alam
Selalu ada ciri khas yang unik ketika membahas tentang kehidupan suku pedalaman.
Tidak seperti manusia modern yang sudah akrab dengan beragam teknologi, suku pedalaman seperti Suku Sakai di Riau lebih nyaman hidup di dalam hutan.
Beberapa suku pedalaman di Indonesia memang hidup jauh dari keramaian, tapi kehidupannya masih bisa dijangkau masyarakat pada umumnya.
Suku Sakai bisa dibilang cukup jarang terdengar di beberapa kisah sejarah peradaban manusia Indonesia.
Keberadaan mereka diyakini sudah ada sejak abad ke-14 M di sekitar tepi Sugai Gasib dan Sungai Rokan yang ada di daerah pedalaman Riau.
Meskipun cukup terasing, bukan berarti mereka terbelakang. Hasil peradaban dan produk budaya Suku Sakai terlihat dari beberapa alat pertanian.
Baca juga: Sejarah Pencak Silat, Beladiri yang Sudah Dikenal Ratusan Tahun
Menjalani hidup yang terbiasa berpindah-pindah di sekitar hutan
Suku Sakai adalah penduduk asli di Riau yang sejak dahulu diyakini menjalani hidup nomaden alias berpindah-pindah. Kehidupan mereka tidak terlepas dari hutan.
Setelah melihat cara hidup mereka, masyarakat mengartikan nama mereka dengan sebuah singkatan.
Sakai dianggap merupakan singkatan dari sungai, kampung, anak, ikan. Pola perpindahan mereka memang sering berpindah dari sungai-sunga, antar kampung, membawa anak-anak dan banyak memancing ikan.
Tentunya semua langkah mereka tetap di sekitar hutan sebagai sumber penghidupan.
Dikutip dari Indonesiakaya, nenek moyang mereka asalnya dari daerah Pagaruyung, yaitu salah satu kerajaan Melayu yang dulu pernah ada di provinsi Sumatera barat.
Dulu mereka kebanyakan tinggal di pondokan kecil yang gampang dibongkar jika sudah tidak dipakai. Di pondokan ada keluarga dan juga pemimpin yang disebut batin.
Sudah bisa menghasilkan beberapa alat yang berfungsi untuk kehidupan sehari-hariÂ
Pola hidup yang nomaden ternyata meninggalkan beberapa warisan budaya yang cukup menarik, misalnya dilihat dari beberapa benda yang ditinggalkan.
Dahulu mereka juga sudah biasa menggunakan beberapa alat untuk mendukung keperluan hidup di tengah hutan.
Benda-benda ciptaan mereka dibuat dari bahan-bahan yang sepenuhnya disediakan oleh alam. Fungsinya pun masih sederhana dan belum tersentuk teknologi ataupun mesin.
Sebuah benda yang termasuk andalan mereka sehari-hari adalah timo yang merupakan suatu wadah dari bahan kulit kerbau kering.
Pada sisi wadahnya terdapat batas yang berbentuk melingkar dan dibuat dari tanaman rotan kemudian diberi seutas tali rotan.
Masyarakat Sakai biasa memakai timo untuk wadah penampung madu yang dikonsumsi sehari-hari.
Baca juga: Asal-usul Kota Makassar, Dari Cahaya Putih yang Muncul di Pantai
Bergantung pada alam, tapi juga memiliki aturan tegas untuk menjaga alam
Kehidupan mereka yang mengandalkan hasil pertanian juga terlihat dari alat-alat lain yang fungsinya untuk mengelola lahan seperti gegalung galo.
Gegalung galo dibuat dari batang bambu dan juga batang pohon lain yang fungsinya untuk alat menjepit ubi manggalo kemudian diambil bagian sari patinya.
Sebelumnya, ubi manggalo yang telah dikupas dikumpulkan di dalam wadah yang disebut tangguk.
Bukan hanya makanan dan alat-alat pengolahnya yang dibuat dari alam, semua pakaian mereka pun dari alam.
Nenek moyangnya dahulu mengajarkan untuk memakai kulit kayu sebagai penutup tubuh dan bertahan sambil pindah-pindah tempat tinggal.
Karena mereka hidup berdampingan dengan alam khususnya hutan, mereka juga memiliki aturan yang tidak boleh untuk dilanggar, misalnya tentang larangan menebang pohon.
Kalau sampai ada yang melanggar peraturan, maka akan terkena denda yang jumlahnya besar senilai dengan logam emas yang sudah ditentukan melalui musyawarah adat.
Pada umumnya denda diberlakukan berdasarkan usia pohon yang telah ditebang. Pohon tua akan bernilai denda lebih tinggi.
Hutan berkurang, mereka sekarang sudah membaur dengan warga masyarakat Riau
Ketika kehidupan masyarakat Sakai sudah semakin terbuka dengan dunia luar, maka hukum denda juga berlaku untuk siapapun yang datang dari luar dan memasuki daerah yang diduduki Suku Sakai.
Yang melanggar aturan akan diusir atau bahkan jika pelanggarannya fatal bisa berisiko hilangnya nyawa.
Kehidupan mereka yang nomaden ternyata secara berangsur berubah normal. Salah satunya karena lingkungan hidup yang berkurang karena perluasan industri.
Kini sebagian mereka membaur dengan masyarakat Riau, khususnya di kecamatan Kota Kapur, Kandis, Balai Pungut, Sungai Siak, Minas Duri, dan Sungai Apit.
Cara hidup mereka termasuk warisan budaya yang penting untuk diketahui generasi mendatang.
Kehidupannya memang bergantung dengan alam, tapi juga selalu melindungi alam supaya tidak rusak oleh tangan manusia.
0 comments